Pokrol Bambu Era Milenial

Ilustrasi. Foto: Net.
Ilustrasi. Foto: Net.

HAMPIR seabad silam masyarakat Indonesia mengenal cerita rakyat perihal Pokrol Bambu. Cerita tentang sekelompok cerdik pandai hukum yang konon tak berijazah bahkan tak berasal dari latar belakang pendidikan hukum.

Pokrol Bambu ini cukup lekat di hati akar rumput. Lekatnya ingatan masyarakat bukan dikarenakan julukanya yang unik, bukan pula sebab aksi tembak menembak bak film laga, tetapi Pokrol Bambu dikenal luas sebab nasihat-nasihatnya yang berusaha membuat masyarakat "melek hukum".

Mereka, yang kemudian dimasukan ke dalam kategori Pokrol Bambu oleh Pemerintah Hindia Belanda, sehari-hari belajar hukum. Mereka membaca istilah hukum dan mengerti betul isi tiap-tiap peraturan.

Gaya berpakaian merekapun parlente bak lawyer kenamaan serta mempunyai kemampuan ‘bersilat lidah’ yang ciamik. Klien mereka dari mulai tuan tanah yang bersengketa dengan petani hingga masyarakat jelata.

Hadirnya Pokrol Bambu pada waktu itu lantas amat banyak membantu masyarakat. Utamanya masyarakat yang merasa berjarak dengan advokat resmi yang kadang tak terjangkau.

Pun setali tiga uang tujuan hukum agar dapat memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan terasa dekat bagi masyarakat dengan adanya bantuan Pokrol Bambu.

Pokrol Bambu Modern

Jika kita hendak merumuskan transformasi daripada Pokrol Bambu di era modern, maka transformasi yang paling dekat adalah paralegal.

Sesuai aturan, paralegal ini berbeda dengan advokat maupun notaris yang notabene harus berijazah setidaknya Sarjana Hukum.

Paralegal lebih bebas, bisa darimanapun yang terpenting mempunyai tujuan membantu masyarakat dari sisi hukum. Itulah kiranya tafsiran yang ada di dalam Permenkumham 3/2021.

Selain paralegal, pola gerakan Pokrol Bambu di era kekinian sering disamakan dengan pola gerakan aktivis sosial yang tergabung dalam LSM.

Mereka menelaah dan meniliti problem sosial dan mengadvokasi hak-hak masyarakat dari berbagai macam kasus. Mereka, yang kadangkala berkumpul dari berbagai latar belakang, berupaya mewujudkan access to justice.

Problem Zaman

Perbedaan yang  kemudian terjadi saat ini adalah problem materi. Tidak ada makan siang gratis istilahnya. Baik paralegal yang sah secara hukum maupun advokat, yang berbau-bau hukum pada intinya, terlanjur dikenal masyarakat memiliki tarif yang tidak murah.

Biaya jasa yang dikeluarkan tinggi yang apabila tidak dipenuhi maka totalitas di dalam pembelaan tidak akan diperoleh.

Problem inilah yang kemudian hinggap di masyakarat. Di tengah kondisi tuna hukum dan dihadapkan pada proses hukum yang dalam bahasa dangdut "ugal-ugalan", masyarakat lantas rindu akan hadirnya sosok yang punya lakon macam Pokrol Bambu.

Dinamika Sarjana Hukum

Seiring tumbuh kembangnya fakultas hukum di Indonesia, yang konon jumlahnya mencapai 200 ribu lebih itu, rasanya sarjana-sarjana hukum muda bisa mengambil posisi Pokrol Bambu ini.

Posisi sementara sembari menunggu peluang atas cita-cita yang diharapkan terwujud. Pilihan yang bukan soal materi saya rasa tetapi soal upaya bersama mewujudkan tertibnya budaya hukum di masyarakat.

Mereka, sarjana-sarjana hukum muda tadi, bisa bergelut melalui naungan lawfirm dengan status paralegal maupun advokat magang. Atau jika ingin lebih dekat dan tak jauh-jauh dari problem sosial masyarakat maka mereka bisa bergabung ke dalam NGO.

Pilihan ini memang tidak mudah, perlu usus yang panjang, tetapi apakah ada nilai yang setara dengan ketulusan dan keberhasilan melukis senyum di wajah masyarakat sebab bahagia masalahnya terbantukan?

| Penulis adalah Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta.