Polda Aceh Sebut Penyelidikan Kematian Tahanan BNN Sangat Transparan

Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol Joko Krisdiyanto. Foto: Ist.
Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol Joko Krisdiyanto. Foto: Ist.

Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Aceh, Kombes Pol Joko Krisdiyanto menyebutkan penyidik tidak memiliki kepentingan atau melakukan upaya yang merugikan keluarga korban DY (39), dalam penyelidikan kematian tahanan Badan Narkotika Nasional (BNN) Aceh tersebut.


"Semua pihak diharapkan dapat menghormati semua tahapan proses hukum yang sudah berjalan. Karena dalam hal ini, penyidik tidak memiliki kepentingan atau upaya-upaya yang merugikan keluarga DY selaku pelapor," kata Joko Krisdiyanto kepada Kantor Berita RMOLAceh, Ahad, 12 Maret 2023.

Joko juga menyebutkan pihaknya sangat menghargai pandangan dari kuasa hukum keluarga korban. Namun menurutnya, kuasa hukum juga harus memahami bahwa setiap tahapan proses hukum yang dilakukan penyidik sudah sangat transparan dan profesional.

"Bahkan, saat gelar perkara saat itu kuasa hukum dan keluarga korban ikut hadir," ujar Joko.

Menurut Joko, sejumlah keterangan yang lahir dalam gelar perkara tersebut disampaikan langsung oleh ahli yang memang berkompeten di bidangnya serta serta berdasarkan bukti yang ada.

Sebelumnya diberitakan, Muhammad Qodrat, kuasa hukum keluarga DY (39), tahanan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Aceh menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses penyelidikan kematian kliennya oleh Kepolisian Daerah (Polda) Aceh. Berdasarkan hal tersebut, dia menilai penyidik tidak transparan dan tidak profesional dalam menangani kasus tersebut.

Menurut Qodrat, ada tujuh kejanggalan yang mereka temukan, kejanggalan pertama yaitu penyidik Polda Aceh meminta keluarga membuat surat penolakan autopsi. Dimana pada tanggal 11 Desember 2022 dua orang Penyidik Polda Aceh mendatangi pihak keluarga korban dan mengatakan hasil visum sudah kuat dalam mengusut perkara tersebut.

"Sehingga pihak keluarga menyetujui dengan membuat surat pernyataan penolakan autopsi," ujar Muhammad Qodrat kepada Kantor Berita RMOLAceh, Jumat, 10 Maret 2023.

Kejanggalan kedua menurut Qodrat, penyidik diduga tidak transparan terhadap alat-alat bukti yang diperiksa selama penyelidikan. Pihak Polda Aceh tidak memberikan bukti visum, CCTV dan keterangan pertama terkait penganiayaan korban dari saksi RS yang merupakan anggota kepolisian dan juga keluarga dari korban.

"Itu menurut kami sangat janggal sehingga penyelidikan kasus ini ditutup tanpa clear. Baju yang dipakai almarhum ketika ditangkap tidak pernah diperiksa dan tidak tahu lagi keberadaannya sampai saat ini, padahal baju itu bisa jadi bukti dalam perkara ini," ujar Qodrat.

Kemudian, kejanggalan ketiga menurut Qodrat lambatnya respon penyelidikan dalam melakukan ekshumasi dan autopsi. Pada tanggal 16 Desember 2022 pihaknya mengajukan permohonan ekshumasi dan autopsi, lalu pada 22 Desember 2022 baru menanggapinya dengan membuat surat bersedia dilakukan autopsi.

"Pada 26 Desember 2022 Polda meminta keluarga korban datang ke Polda dengan alasan ingin mendengar langsung permohonan autopsi dari mulut istri almarhum. Hal ini sangatlah janggal karena sebelumnya pihak keluarga telah mengirimkan surat permohonan ekshumasi dan autopsi," kata Qodrat.

Atas kejanggalan tersebut, Qodrat menduga Polda Aceh mencari alasan dalam memperlambat proses ekshumasi dan autopsi jenazah. 

Kejanggalan keempat yaitu terlibatnya penyidik BNNP Aceh selaku pihak yang diduga melakukan tindak pidana dalam gelar perkara. Pada 23 Februari 2023 lalu, Polda melakukan gelar perkara dengan menghadirkan penyidik dari BNN Aceh.

"Seharusnya, dalam gelar perkara ini pihak yang diduga terlibat melakukan tindak pidana tidak semestinya mendengar langsung hasil gelar perkara," ujar pria yang juga Kepala Operasional YLBHI-LBH Banda Aceh ini.

Menurut Qodrat, apabila pihak-pihak yang diduga terlibat dalam suatu tindak pidana ikut serta dalam gelar perkara, maka mereka dapat mengetahui tindak lanjut proses penyelidikan dan penyidikan. Sehingga pihak tersebut dapat mengambil langkah-langkah antisipatif untuk menggagalkan tindak lanjut.

Kejanggalan kelima, menurut Qodrat adalah penjelasan penyidik terhadap luka lebam yang dialami korban tidak dapat dipercaya dan tidak bisa diterima akal sehat. Pasalnya lebam kebiruan pada tubuh korban dikatakan penyidik karena korban yang membenturkan dirinya ke dinding dan jatuh di kamar mandi.

Selanjutnya kejanggalan ke enam menurut Qodrat adalah, penyidik tidak pernah mempertimbangkan dan mendalami keterangan saksi yang mengarah pada adanya dugaan tindak pidana oleh petugas BNN Aceh. Hal itu, dapat dilihat dari keterangan RS yang tidak digubris, dan bahkan dokter yang pernah memeriksa korban sebelum korban meninggal juga mengatakan tulang rusuk korban tidak simetris.

"Salah seorang petugas RSJ Aceh juga bilang kalau korban bukan seperti orang sakau, namun seperti orang geger otak, dan keterangan tersebut tidak didalami oleh penyidik seperti terkesan mengambil potongan alat bukti yang menguntungkan petugas BNN dan mengarah pada penghentian penyelidikan," ujar Qodrat.

Dan kejanggalan ke tujuh atau yang terakhir, kata Qodrat yaitu, penyidik tidak pernah menggubris saran serta masukan dari keluarga korban. Salah satu sarannya adalah memeriksa pakaian saat pertama kali korban ditangkap dan keterangan dari saksi RS.

"Pada tanggal 28 Februari 2023 kita surati Direskrimum untuk melakukan memeriksa RS dan lainnya, namun sayangnya Polda tidak menggubris dan langsung menghentikan perkara ini, dan menyisakan tanda tanya besar di kita," ujar Qodrat.