Police Professionalism at Stake

Saifuddin Bantasyam. Foto: ist.
Saifuddin Bantasyam. Foto: ist.

KEPOLISIAN seperti tak berhenti “menghadirkan kejutan” kepada publik. Setelah kasus Irjen Freddy Sambo (FS) dan Stadion Kanjuruhan, tiga hari lalu muncul kasus Irjen Teddy Minahasa (TM). 

Ketiga kasus itu bukan kasus ikan teri. FS menembak mati ajudannya. Di Stadion Kanjuruhan, Malang, belasan polisi melepaskan gas air mata kadaluarsa ke tribun penonton. Sebanyak 132 tewas saat lari ke luar stadion menghindari aksi polisi tersebut. 

Sedangkan TM (baru beberapa hari dilantik sebagai Kapolda Jawa Timur) ditangkap dengan dugaan memperjual barang bukti berupa shabu seberat 5 kg. TM disebut sebagai Kapolda terkaya di Indonesia dan shabu yang dijualnya ditengarai sebagai barang bukti dalam kasus yang dia tangani sebelumnya di Sumatra Barat. 

Bukan main! Beberapa kasus berat itu dan berbagai kasus lainnya yang melibatkan anggota Polri, membuat institusi Polri seperti ikan hias dalam aquarium; menarik perhatian setiap orang yang melihatnya, termasuk kucing sekali pun. Sayangnya, bukan karena keindahan atau prestasi melainkan karena melanggar etika dan hukum sekaligus, jauh dari sikap professional. 

Ada dua konsep profesionalisme: profesionalisme tradisional dan profesionalisme modern. Profesionalisme tradisional adalah profesionalisme yang didasarkan pada sense of integrity (integritas), honesty (kejujuran), dan adherence (kesetiaan) kepada kode etik (code of ethics).

Sedangkan konsep profesionalisme modern adalah keadaan di mana polisi melibatkan atau mengikutsertakan masyarakat dalam melawan kejahatan. 

Bagaimana suatu profesionalisme diukur? Sullivan, pakar Ilmu Kepolisian dan Kriminolog AS mengatakan bahwa profesionalisme dapat dilihat pada tiga parameter, yaitu motivasi, pendidikan, dan penghasilan. 

Menurutnya, agar diperoleh penegak hukum yang baik, maka haruslah dipenuhi prinsip Well MES yaitu well motivation (motivasi bagus), well education (pendidikan baik), dan well salary (gaji layak). 

Terkait dengan well motivation, perlu perhatian dan perlu dicermati apa yang melatari seseorang untuk mengabdikan diri sebagai polisi. Untuk gagah-gagahan, atau agar ditakuti orang, atau untuk balas dendam? Sadarkah calon polisi itu bahwa menjadi polisi akan dihadapkan kepada berbagai tantangan sekaligus tugas berat, yang menuntut kesiapan fisik dan mental? 

Lalu, ada well education. Adakah pendidikan sebelumnya menyumbang bagi  kemampuan intelektual dan kematangan mental saat memilih profesi sebagai polisi? Dengan latar pendidikan yang tepat dan cukup, polisi mampu memahami modus operandi kejahatan dan mengetahui perangkat hukum yang akan digunakan untuk menjerat penjahat. 

Untuk memenuhi semua itu maka pendidikan polisi “mutlak” harus bagus. Sebab, sebagaimana disebutkan di atas, teknik kejahatan semakin canggih sesuai  dengan perkembangan zaman. Karena itu pula, di samping rekrutmen yang didasarkan pada pendidikan terakhir tertentu, maka polisi misalnya juga harus diikutsertakan dalam seminar, simposium, up grading, workshop, kursus singkat dan sebagainya. 

Semua kegiatan tersebut memberi kesempatan kepada anggota polisi untuk menambah pengetahuan dan keahliannya dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai anggota polisi. 

Sedangkan well salary (gaji yang layak), juga menjadi satu kebutuhan mutlak. Gaji anggota polisi dianggap masih kecil dibanding aparat penegak hukum lain seperti jaksa dan hakim, padahal anggota polisi itu tak mengenal hari libur dalam bekerja, alias harus siap 24 jam, dan siap bersabung nyawa. Semua keadaan ini  jarang dihadapi oleh jaksa dan hakim. 

Anton Tabah (Irjen. Purn) di samping menyebut tiga hal yang disebut Sullivan, menyebutkan juga ada ada dua syarat lain yang harus dipenuhi oleh institusi kepolisian agar menjadi institusi yang profesional. Dua syarat lain itu adalah well trained dan well equipment. 

Melalui pelatihan yang baik dan terus menerus, termasuk belajar proses manajerial yang ketat serta sinkron, polisi akan mampu menjawab berbagai tantangan kepolisian masa kini dan di masa yang akan datang. 

Sedangkan well equipment adalah menyangkut penyediaan prasarana dan sarana yang cukup bagi institusi kepolisian, serta penyediaan sistem dan sarana teknologi kepolisian yang baik agar anggota polisi dapat menjalankan tugas dengan baik. 

Setelah beberapa kasus berat yang melibatkan kepolisian seperti di atas, profesionalisme, peningkatan pengetahuan dan teknis dan nonteknis, merupakan suatu keniscayaan, sebab nama baik institusi Polri kini dipertaruhkan. Itu sebabnya pula Presiden Jokowi minta Polri untuk bersih-bersih dan melakukan pembenahan,

Bagi saya, pembenahan terbaik itu adalah menggabungkan dua profesionalisme sebagaimana disebutkan di atas. Anggota polisi tak hanya berintegritas, jujur, taat kepada kode etik, dan terdidik, melainkan juga harus sejahtera dan mendapat pelatihan yang cukup dengan prasarana dan sarana yang memadai.  

Jika semua itu terpenuhi, mereka akan fokus dalam bekerja, Sebaliknya jika diabaikan, mereka yang seharusnya menegakkan hukum dan keadilan, melakukan sebaliknya, yaitu merusak hukum dan keadilan tersebut.

| Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.