Political Genocide dan Perlawanan Partai Politik

Ilustrasi. Foto: net.
Ilustrasi. Foto: net.

"Kalau partai-partai politik dikubur, yang berdiri diatas nisan kuburan itu diktator" (M.Natsir: Ketua Umum Partai Masyumi 1949-1959)

 

KITA semua berharap pemilu yang langsung bebas, umum, rahasia, jujur dan adil. Kita ingin pemilu terselenggara dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.

Tentu itu harapan kita semua sebagai sebuah bangsa yang menjunjung tinggi nilai Pancasila dan memegang teguh UUD 1945. Terutama sekali sebagai negara hukum dan negara berkedaulatan rakyat.

Pemilu yang demokratis dan konstitusional adalah pemilu yang bersandar pada asas dan tujuan dari pemilu itu sendiri. Dimulai dengan cara-cara yang benar dan adil sesuai hukum yang berlaku.

Dengan pemilu itu, setiap warga negara diberi kesempatan untuk berkompetisi memperebutkan suara rakyat, baik dalam pemilihan legislatif, senator maupun presiden dan wakil presiden. Itulah hakikat dari Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan: "setiap warga negara bersama kedudukannya dalam hukum pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tanpa ada kecualinya"

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai salah satu institusi yang diamanatkan UUD 1945 sebagai penyelenggara pemilu, seyogyanya memiliki sikap demokratis dan konstitusional, serta menyiapkan segala kebutuhan untuk terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil serta konstitusional.

Namun, patut disayangkan, lembaga negara (KPU) yang disebut sebagai pelaksana demokrasi justru tidak memahami hakikat dasar demokrasi pancasila yang telah menjadi bagian dari nilai luhur bangsa Indonesia.

Bagaimana mungkin kebebasan konstitusional warga negara yang telah mengikuti prosedur untuk mendirikan suatu partai politik diberangus begitu saja tanpa menggunakan instrumen hukum yang berlaku.

Terlihat jelas ketika KPU, mengeliminasi 16 partai politik secara sewenang-wenang, dan tidak dapat mengikuti tahap verifikasi administrasi atau tahap selanjutnya dengan sebuah surat, bukan surat keputusan. Tentu ini mengherankan bagi siapa saja yang belajar hukum Administrasi.

Sesungguhnya kebebasan mendirikan partai politik tidaklah mudah. Perlu biaya dan tenaga yang maksimal untuk memperoleh syarat-syarat menjadi partai politik itu. Tidak mudah seperti semudah KPU menyatakan partai politik tidak memenuhi syarat dan diputuskan tanpa proses verifikasi administrasi.

Lalu dengan alasan apa KPU menyatakan bahwa partai Politik yang mendaftar secara resmi dan serimonialkan sebagai peserta pemilu itu dinyatakan tidak lolos, padahal baru mendaftarkan diri?

Dari tanggal 1-14 Agustus 2022 adalah proses pendaftaran partai politik peserta pemilu. Namun, setelah selesai mendaftar tiba-tiba KPU menyatakan 16 partai politik tidak lolos tahap pendaftaran. Darimana KPU menilai dokumen persyaratan parpol padahal belum melakukan verifikasi administrasi.

Semua ini tidak lain adalah sebuah tindakan politik pemberangusan atau yang kami sebut sebagai Political Genocide. Dengan otoritas tanpa dasar hukum, 16 partai itu dinyatakan tidak lengkap syarat dan dokumen sehingga tidak bisa ikut tahap selanjutnya yang pada akhirnya digagalkan menjadi peserta pemilu.

Tidak diterbitkan berita acara dan surat keputusan seperti biasanya tindakan administrasi kelembagaan. Hanya pemberitahuan atau surat tanda pengembalian data dan dokumen partai politik calon peserta pemilu, tidak ditandatangani oleh Ketua dan Komisioner KPU. Sebagaimana dalam ketentuan pasal 11 ayat (1) huruf d UU 7/2017: "ketua KPU mempunyai tugas: d. Menandatangani seluruh peraturan dan keputusan KPU".

Ketentuan pasal 11 ayat (1) huruf d, tidak dilakukan oleh Ketua KPU, melainkan oleh pegawai KPU, bukan juga Anggota KPU. Tetapi akibat hukum dari tindakan itu membuat partai-partai politik yang dinyatakan tidak lengkap berkas, tidak bisa mengikuti tahap verifikasi.

Sekali lagi saya katakan, ini politik genosida, dimana kebebasan setiap warga negara untuk membentuk partai politik dan melaksanakan ketentuan UU tentang Partai Politik "dihabisi" begitu kasar.

Dasar hukum partai politik

Partai politik adalah salah satu pilar demokrasi. Tanpa partai politik demokrasi akan merosot menjadi tirani, dan mencegah partai politik untuk ikut pemilu tanpa alasan dan dasar hukum jelas tentu itu mewarisi sifat tirani itu sendiri.

Keberadaan partai politik sebagai pilar demokrasi telah dijamin secara konstitusional melalui pasal 28 UUD 1945. Mendirikan partai politik adalah hak konstitusional setiap warga negara untuk ikut serta dalam pemerintahan.

Maka UU 2/2008 tentang Partai Politik memberikan syarat untuk berdirinya partai politik. Syarat itulah yang juga menjadi syarat untuk mendaftar ke KPU. Yaitu, 100 persen tingkat provinsi, 75 persen tingkat kabupaten/kota, 50 persen tingkat kecamatan dan 1/1000 dari jumlah pemilih setiap kabupaten/kota, serta kepengurusan tingkat pusat sampai daerah, 30 persen harus ada keterwakilan perempuan.

Itulah syarat bagi partai politik untuk mendapatkan badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM. Syarat tersebut telah terpenuhi sehingga partai-partai politik mendaftar KPU dengan asumsi bahwa KPU lah yang melakukan verifikasi administrasi dan faktual untuk partai baru sehingga dengan verifikasi itu partai dapat dikatakan memenuhi syarat sebagai partai peserta pemilu atau tidak.

Sesuatu yang tidak mudah bagi para pendiri partai untuk mendapatkan Surat keputusan badan Hukum dari Menkumham, karena harus melewati proses pemenuhan syarat itu. Tentu bagi teman-teman yang mendirikan partai politik mengerti bagaimana tenaga, waktu, biaya telah dikeluarkan, namun dengan semudah itu oleh KPU dinyatakan tidak lolos di saat pendaftaran.

Kami bisa maklumi kalau keputusan lolos atau tidak itu, berdasarkan verifikasi yang telah dilakukan KPU. Namun sebelum verifikasi langsung dinyatakan gugur, tanpa urat keputusan. Apakah ini yang dinamakan negara hukum?

Eksekusi tanpa keputusan

Tindakan KPU sebagian besar tidak mengindahkan kaidah negara hukum. Dalam negara hukum semua harus bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Ini tidak terpenuhi, sepanjang mengenai pendaftaran dan verifikasi partai politik.

Bayangkan saja, KPU membuat sebuah norma yang mewajibkan semua partai politik menggunakan Sistem Informasi Partai politik (Sipol). Sipol bukanlah instrumen pendaftaran Partai politik, dan tidak diatur sama sekali dalam UU 7/2017.

Darimana datangnya sipol ini? Sipol itu dari Peraturan KPU RI 4/2022 diantaranya dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. Artinya Sipol ini dapat diartikan sebagai bentuk diskresioner dari KPU, dia tidak bisa dijadikan norma yang dapat mengikat calon partai politik peserta pemilu, oleh karena KPU bukanlah pembentuk norma melainkan hanya pelaksanaan norma.

Oleh karenanya keberadaan diskresioner tersebut (Sipol) tidak boleh melampaui kewenangan, dan tidak boleh juga memunculkan atau menciptakan keadaan hukum baru yang dalam sifat ya menghalangi hak partai politik atau menangguhkan hak partai politik sebagian tahu seluruhnya sementara atau permanen, yang menimbulkan beban tambahan kepada partai politik.

Lebih aneh lagi dan tidak bisa diterima nalar hukum yaitu PKPU 4/2022 baru ditetapkan dan diundangkan tanggal 20 Juli 2022, artinya hanya 11 hari sebelum pendaftaran parpol untuk mendaftar sebagai calon partai politik peserta pemilu (P4), akan tetapi KPU telah membuka Sipol dan memberikan akun dan password Sipol kepada parpol pada tanggal 24 juni 2022. Sebelum parpol resmi mendaftar di KPU.

Tindakan KPU tersebut jelas sekali tanpa dasar hukum atau abuse of power

Dengan instrumen yang tidak memiliki dasar hukum itulah, KPU menyatakan 16 parpol dinyatakan tidak lolos tahap pendaftaran. Yang lebih aneh lagi, ketika menyatakan tidak lolos, KPU tidak menuangkan dalam berita acara sebagai sebagaimana yang menjadi Standar Operasional Prosedur (SOP) pendaftaran partai politik.

Bahwa setiap Partai yang dinyatakan tidak lengkap dokumen pendaftaran dituangkan dalam berita acara. Hal itu dinyatakan juga dalam pernyataan ketua KPU pada tanggal 16 Agustus dan Surat Bawaslu kepada KPU nomor: 258/PM.00/K1/07/2022 tanggal 29 Juli 2022.

Berita acara itu tidak pernah ada, tidak pernah diterbitkan dan partai politik dinyatakan gugur tanpa surat keputusan. Ini menyalahi asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Upaya hukum

Kami sebagian besar partai politik yang tidak lolos pemilu melayangkan gugatan ke Bawaslu RI untuk melakukan sidang Adjudikasi sengketa Proses. Namun, Bawaslu menyatakan gugatan kami tidak dapat diterima karena tidak memiliki objek.

Kami merasa heran dengan keputusan Bawaslu tersebut. Seharusnya dari awal sebagai pengawas, Bawaslu menegur KPU, tapi itu tidak dilakukan. Maka kami menduga KPU dan Bawaslu secara bersama-sama melakukan upaya genosida politik terhadap partai-partai ini.

Seharusnya dari awal Bawaslu mengingatkan KPU untuk mentaati prosedur dan ketentuan undang-undang dalam proses pendaftaran partai politik itu. Ini tidak terjadi sama sekali, lalu memutuskan bahwa gugatan kami tidak memiliki objek Hukum.

Begitu juga ketika kami mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN.  Pengadilan TUN menyatakan bahwa Surat dari KPU itu bukan objek sengketa, karena itu bukan Surat keputusan. Artinya tidak memenuhi syarat sebagai keputusan bersifat konkrit, individual dan final.

Oleh karena itu, kami menyadari ini bukan hanya persoalan proses pendafataran dan verifikasi, ini persoalan yang lebih mendasar, yaitu pemberangusan kebebasan berserikat dan berkumpul termasuk mendirikan partai politik.

Genosida politik

Tibalah kami pada kesimpulan bahwa apa yang kami alami bukanlah sekedar persyaratan parpol. Toh, persyaratan itu telah dinyatakan terpenuhi oleh Menkumham. Ini persoalan politik dengan menggunakan instrumen kekuasaan untuk menghalangi jalannya demokrasi yang jujur dan adil.

Sistem demokrasi tidak pernah membatasi keterlibatan warga negara dalam setiap agenda-agenda politik, semasih itu dalam tidak menyalahi hukum. Meskipun 16 partai politik itu sudah berusaha mengikuti aturan main yang diatur dalam undang-undang, tetap juga diberangus dengan cara-cara otoritarianisme.

Dalam sejarah, pemberangusan massal itu terjadi ketika rezim fasis di Jerman dan Komunis di Uni Soviet berkuasa. Keduanya negara itu menggunakan senjata untuk memberangus lawan-lawan politik dan membunuh setiap orang tanpa proses hukum.

Dalam demokrasi dan politik, kerap kita jumpai pembunuhan dalam bentuk lain. Yaitu memberangus kebebasan dengan cara-cara seperti yang lebih halus dengan memainkan aturan hukum.

Maka kami melakukan deklarasi "Gerakan Melawan Politik Genocide". Bersama 6 parpol yang dinyatakan oleh KPU dan Bawaslu tidak memenuhi syarat kelengkapan dokumen pendaftaran.

Ada Partai Masyumi (Dr. Ahmad Yani), Partai Perkasa (Eko Suryo Sancoyo), Partai Reformasi (H. Syamsahril Kamal),  Partai Pandai (Dr. Farhat Abbas), Partai Pemersatu Bangsa (Dr. Eggy Sujana), Partai Kedaulatan (Denni Cillah).

Kami menggunakan istilah political genocide, karena begitu banyak institusi partai politik yang diberangus. Hampir 50 persen dari jumlah partai politik yang mendaftarkan diri diberangus. Tidak ada keputusan hukum, tidak ada instrumen demokrasi dan instrumen politik yang dilewati, tetapi tetap dieksekusi tanpa putusan.

Kalau bukan genosida, lalu apa yang pantas untuk dilabelkan pada penyelenggara pemilu seperti itu?

Wallahualam bis shawab.

| Penulis adalah Ketua Umum Partai Masyumi.