Politik dan Kekuasaan Niretika

Ilustrasi: sabak.
Ilustrasi: sabak.

KATA politik yang selalu diidentik dengan kekuasaan kini telah banyak mengalami perubahan makna. Ada banyak pendapat dari para tokoh politik mengatakan bahwa politik adalah sebuah seni dalam melakukan proses untuk mendapatkan kekuasaan yang ada. 

Selain itu ada juga yang mengutarakan bahwa politik adalah sebuah cara untuk mengatur masyarakat dalam memenuhi kebutuhan bersama.

Apapun pengertiannya kata politik, yang lebih subtansial dari itu semua adalah bagaimana proses politik berjalan dengan kaidah-kaidah berpolitik yang baik, beretika, bermoral dan jujur. Politik harus menginternalisasi nilai-nilai kebaikan seperti etika, moral, kejujuran dan mematui hukum yang berlaku. Agar kekuasaan bisa berjalan sesuai dengan kehendak publik.

Selain hal di atas, pembagian kekuasaan dalam pemerintahan suatu negara juga diperlukan untuk mencegah terjadinya kekuasaan absolut atau mutlak seperti yang berlaku dalam sistem pemerintahan monarki atau kerajaan.

Miriam Budiardjo dalam buku karyanya Dasar-dasar Ilmu Politik mengungkapkan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain supaya melakukan tindakan-tindakan yang dikehendaki atau diperintahkannya, namun jika kemampuan kekuasaan mendominasi dalam hal mempengaruhi kebijakan disegala bidang yang ada di negara, maka bukan mustahil kekuasaan juga pada akhirnya menjadi pemerintahan absolut.

Di sini pentingnya pembagian kekuasaan yang digagas oleh Montesquieu dengan ajaran Trias Politika (pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga): pertama eksekutif atau pelaksana pemerintahan, kedua legislatif atau pembuat undang-undang sekaligus memiliki fungsi kontrol atas kebijakan pemerintah, dan yudikatif atau kehakiman (pengawas pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah). Pembagian kekuasaan ini dibuat demi menjaga terjadinya kekuasaan absolut atau mutlak.

Dalam sebuah kajian mengeni negara dan kekuasaan dalam hal mengambil keputusan untuk mengatur masyarakat, politik sangat berperan penting didalamnya. Apabila para politikus tidak menginternalisasi nilai moral, etika dan dedikasi serta kejujuran maka yang terjadi adalah ketidak adilan, disorientasi dan destruktifikasi pada tatanan masyarakat.

Pandangan Henry J. Scmand mengatakan bila politik tidak berkorelasi pada sifat moral yang baik maka sesungguhnya mereka adalah amoralisme atau tidak ada bedahnya dengan binatang yang berpolitik (a political animal).

Selain itu juga Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa manusia sebagai zoon politicon harus memiliki etika, moralitas, dedikasi dan kejujuran agar dalam mengatur kebijakan untuk kepentingan masyarakat selurunya (bukan sebagian) bisa berjalan dengan baik dan sesuai kehendak umum (mayoritas).

Pandangan di atas berbeda dengan pandangan Niccolo Machiavelli sebagai pemikir politik di abad pertengahan. Gagasan-gagasan politik beliau terkesan licik dan oportunis. Landasan berpikir Machiavelli terdiri dari pemikiran realis, pragmatis dan individualis.

Dengan teori yang begitu terkenal, politics has no relation to moral, Machiavelli mengatakan bahwa politik secara realis tidak memiliki hubungan dengan moral. Karena menurut beliau yang utama dari proses politik adalah merealisasikan kepentingan politik itu sendiri. Bagi Machiavelli etika dan moral adalah penghalang atas terwujudnya kepentingan politik, sehingga wajar bagi beliau posisi etika dan moral dikesampingkan.

Selain teori di atas Machiavelli juga membangun pondasi gagasan politknya dengan teori “it's better to be feared than loved, if you can not be both” atau lebih baik ditakuti dari pada dicintai, jika tidak bisa dua-duanya.

Teori ini menjustifikasi teori yang di atas bahwa sebagai politikus harus bisa mengaktualisasi sebagai seorang politik yang ditakuti agar apa yang menjadi kepentinganya bisa tercapai.

Corak-corak pemikiran Machiavelli banyak dijadikan refrensi bagi para politikus atau kekuasaan yang berwatak diktator karena etika, moral dan kejujuran dinafikan. Dari pemikiran dan teori Machiavelli sebetulnya banyak kelemahannya.

Machiavelli tidak berfikir bahwa setiap manusia memiliki kemerdekaan emosional, intelektual dan kemerdekaan spritual. Di mana instrumen tersebut memiliki insting atas kemerdekaannya, maka menjadi sulit bagi manusia untuk takut begitu saja pada sesuatu di luar dirinya. Jika manusia tetap dipaksakan untuk takut pada politikus dan kekuasaan, maka yang terjadi adalah backfire bagi politikus atau penguasa itu sendiri.

Dalam pandangan almarhum Gus Dur menyatakan bahwa di atas politik adalah kemanusian. Kemanusian yang dimaksud ialah tentang nilai-nilai yang dianut oleh manusia dalam kaitan hubungannya dengan sesama manusia, seperti toleransi, welas asih, cinta-kasih, tolong-menolong, gotong-royong, jujur, mendahulukan kepentingan umum, dan banyak nilai-nilai baik lainnya.

Selaras dengan Gus Dur, SBY juga mengatakan demokrasi dan politik tanpa keadilan adalah sesat. Dan keadilan tanpa kesejahteraan adalah semu.

SBY menegaskan bahwa berdemokrasi dan berpolitik harus kuat nilai keadilan agar kesejahteraan bisa diwujudkan untuk rakyat Indonesia. Selain itu SBY juga mengatakan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang berkarakter ramah tamah, menghargai gotong royong, tangguh dan bersifat santun.

Ini menunjukkan, bahwa kedua tokoh besar di atas merupakan representasi dari tokoh bangsa yang hadir karena dicintai oleh masyarakatnya. Kecintaan masyarakat kepada beliau karena jiwa kepemimpinan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Politik yang beretika telah dicontohkan oleh kedua tokoh tersebut dengan baik. Bagaimana etika, moralitas, integritas dan dedikasi pada negara bener-bener diwujudkan pada dirinya demi kesejahteraan masyarakat. Sangat berbahaya jika politik tanpa etika, moral dan kejujuran. Maka yang ada adalah kehancuran dan yang menjadi korban adalah masyarakat. 

| Penulis adalah fungsionaris DPP Partai Demokrat Departemen V.