Politik dan Wag

Ilustrasi. Foto: net
Ilustrasi. Foto: net

INI kisah yang diceritakan oleh seorang sahabat. Demikianlah ceritanya.

Sekarang ini, kata sahabat, nyaris semua teman menjadi pengamat politik. Mereka bicara mulai dari soal peluang Ganjar Pranowo yang dalam berbagai survei unggul dan terus dideklarasikan oleh para pendukungnya,  Prabowo yang sudah dinyatakan oleh Gerindra akan diusung kembali, Puan Maharani yang  diyakini oleh para pendukungnya akan menjadi kandidat PDIP, Airlangga Hartarto jagoan Golkar, Anies yang tengah berjuang mencari partai pengusung, Cak Imin yang diusung PKB, dan nama-nama lain seperti AHY, Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, Kofifah Endarparawangsa, Bu Risma, hingga soal panglima TNI yang baru dan Covid-19.

Sebenarnya, kata sahabat itu, tidak hanya soal politik yang menarik teman-temannya di WhatsApp grup (Wag). Berbagai persoalan yang menjadi perhatian masyarakat atau bahasan masyarakat di media sosial, pasti menjadi bahan diskusi.

Misalnya soal kecelakaan mobil yang menewaskan artis Vanessa Angel dan suaminya, Bibi Andriansyah, di Tol Nganjuk arah Surabaya Kilometer 672+400A, Jawa Timur, Kamis, 4 November 2021.

“Apa yang menjadi penyebab kecelakaan itu?” Begitu ada yang menulis seperti itu, segera  muncul berbagai teori. Masing-masing dengan teorinya yang diyakini benar untuk mengungkap penyebab kecelakaan itu.

Ada yang menyalahkan konstruksi jalan tolnya. Ada yang mengatakan sopir ngantuk. Yang lain menyatakan sopir main telepon, padahal mobil melaju kencang.

“Banyak kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh faktor human error. Mengemudikan kendaraan di jalan Tol atau jalan bebas hambatan diperlukan konsentrasi yang prima, tidak boleh capek, sakit dan lelah, termasuk mengantuk. Selain itu kendaraan juga harus dalam kondisi laik jalan,” tulis seorang teman.

Komentar teman itu langsung disamber  teman lainnya, “Betul itu. Nih, sopir mengaku memacu kendaraannya 130 kilometer per jam.” Lalu teman itu memosting tautan berita dari sebuah media online.

II

Tetapi, isu politiklah yang paling seksi, paling menarik dibicarakan di grup WhatsApp dan saat itulah semua menjadi pengamat.

“Bung, semua teman saya di grup WhatsApp baik itu alumni SMP maupun SMA sekarang ini fasih mengulas masalah politik. Setiap kali ada isu politik, pasti ramai. Masing-masing merasa lebih pintar, dan lebih tahu tentang tokoh-tokoh politik yang mereka bicarakan,” kata sahabat itu.  

Sahabat itu lalu menulis, “Ketika mengikuti diskusi tentang politik di grup WhatsApp, saya lalu bisa mengerti mengapa Alain Badiou (lahir 1937), filsuf dari Prancis dan profesor filsafat di The European Graduate School/EGS, menyebut opini mutlak bertentangan dengan kebenaran-kebenaran etis (l’ethique de la vérité).

Kata Badiou, kebenaran bukanlah hasil bentukan sepihak. Ia—kebenaran—bersifat universal, tidak tergantung waktu, tempat dan keadaan. Dalam diskusi di grup whatsaap, setiap orang bisa merasa paling benar. Setiap orang dapat mengatakan bahwa itu adalah kebenaran menurutmu, namun menurutku kebenaran tersebut adalah berbeda.

Dengan demikian setiap orang menjadi bertanya-tanya, apakah yang dimaksudkan dengan kebenaran dan apakah ada kebenaran yang mutlak?

Tetapi, sekarang ini, orang sepertinya tidak peduli lagi pada kebenaran. Kejujuran tidak pernah menjadi keutamaan politis. Sebaliknya, dusta selalu saja berlaku sebagai alat yang diizinkan dalam politik.

Peristiwa-peristiwa yang tidak enak pada masa lalu, krisis kepemimpinan atau korupsi yang menggerogoti anggaran negara adalah obyek-obyek dusta para pemimpin. Untuk menutupi celah antara pernyataan dan kenyataannya, politikus tidak memberi kebenaran, tetapi pembenaran.

Di masa pemilu atau pilkada, misalnya, kebohongan disebarluaskan dengan berbagai sarana dan cara, dengan argumen mengacu pada kebenaran. Demikian pula dusta dan manipulasi membanjiri masyarakat. Pihak yang menyebarkan dusta dan manipulasi itu tidak peduli akibat dari tindakannya.

Berdusta berarti mengatakan yang tidak benar dengan maksud untuk menyesatkan. Dusta adalah pelanggaran paling langsung terhadap kebenaran. Berdusta berarti berbicara atau berbuat melawan kebenaran untuk menyesatkan seseorang, yang mempunyai hak untuk mengetahui kebenaran.

Rekayasa atau manipulasi berarti menyiasati atau membawa orang lain kepada suatu tujuan yang menguntungkan dirinya sendiri, yang mungkin saja orang lain mendapat rugi. Rekayasa dan manipulasi itu bersifat mengelabui.

Faktor baru yang sangat memengaruhi dalam komunikasi politik yang sarat dusta sekarang ini adalah kecepatan. Teknologi dengan internet, membuat informasi dan disinformasi, bertabrakan langsung, dalam jumlah yang nyaris tidak terhitung menjangkau pendengar dan pembaca dalam ruang dan waktu yang nyaris tak terbatas.

Dalam kondisi seperti itu, menjadi wajar muncul pertanyaan: Apakah mungkin menjalankan politik yang bermoral di tengah dunia yang semakin mengabaikan nilai-nilai moral? Apakah juga realistik, berpolitik mengedepankan nilai kemanusiaan dan keadilan, kalau politik lebih berbicara soal kepentingan -apalagi kepentingan dirinya sendiri dan golongannya?

III

“Sampai di titik ini, saya jadi bingung,” begitu kata sahabat yang kirim cerita ini.

Politik memang membingungkan. Sebab, politik memiliki logika sendiri. Maka dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Dari sebab itu, tidak mengherankan orang kadang mengatakan bahwa politik itu kotor; politik itu dunia yang tidak jujur, penuh tipu daya, dan permainan licik, serta taktik palsu.

Sebab setiap momen politik itu menyediakan kesempatan; dan setiap kesempatan menyediakan peluang. Setiap peluang adalah keuntungan.

Maka orang memanfaatkan setiap momen sebagai kesempatan untuk meraup keuntungan. Pun pula itu dilakukan—tidak jarang—dengan menghalalkan segala cara.

Tetapi, apakah selalu begitu? Sebenarnya, dari sono-nya, politik itu tidak kotor. Sebab, sesungguhnya politik adalah tanda dan sarana penyelamatan untuk mewujudkan kebaikan bersama bagi seluruh anggota masyarakat.

Maka kini kita masih menemukan politikus yang bersih, yang menjunjung tinggi moralitas, yang berusaha setia melaksanakan tugas suci politik, yang sungguh-sungguh menjadikan politik sebagai tanda dan sarana penyelamatan di tengah hingar-bingar kegaduhan politik yang mengingkari jatidirinya.

Kata sahabat di akhir ceritanya, “Saya masih lega bahwa teman-teman di grup WhatsApp, selalu menghindari atau bahkan tidak mau ngomong soal agama apalagi mengkaitkan agama dengan politik.” 

| Penulis adalah wartawan.