Segala bentuk penghinaan tidak bisa dibenarkan, apalagi kepada seorang presiden. Namun demikian, bukan berarti kritik kepada penguasa bisa dibungkam begitu saja.
- Jadi Fenomena Gunung Es, Kasus Saiful Mahdi Akibat Kelemahan UU ITE
- PWI Dorong Penghapusan Pasal Karet Dalam UU ITE
- Dosen USK: UU ITE Jadi Alat Saling Menyakiti
Baca Juga
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburrokhman, khawatir Pasal 218 dalam draf Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) akan menjadi alat pembungkaman. Pasal yang mengatur tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden itu kini dibahas di DPR RI.
“Saya khawatir keberadaan pasal ini di dalam KUHP bisa mengakibatkan tuduhan kepada siapa pun yang menjadi presiden, atau siapa pun yang berkuasa menggunakan kekuasaan untuk membungkam kritik. Ini yang kami khawatir,” kata Habiburrokhman, seperti dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL, Senin, 14 Juni 2021.
Kekhawatiran tersebut tetap ada meski aparat hukum, baik kepolisian dan kejaksaan diklaim akan bersikap objektif. Menurut dia, seobjektif apapun proses penyelidikan dan tuntutan, karena kepolisian dan kejaksaan dijadikan alat oleh kekuasaan, hal itu akan sangat absurd.
“Itu yang menjadi konsen saya,” kata Habiburrokhman.
Habiburrokhman berpendapat bahwa pasal penghinaan presiden sebaiknya masuk dalam peradilan perdata, bukan pidana.
“Kalau di perdata itu langsung ke pengadilan. (misalnya) Saya enggak suka dicemarkan nama baiknya oleh si A, saya langsung gugat ke pengadilan. Dalam praktiknya, itu efektif,” kata Habiburrokhman.
- Kasus Pencemaran Nama Baik, Abu Laot Dituntut Enam Bulan Penjara
- Partai Gerindra Aceh Optimis Raih Dua Kursi DPR RI, DPRA Masih Berproses
- Kejati Aceh Terima Pelimpahan Tahap I Kasus Cut Bul dari Penyidik