Potensi Krisis Pangan

Ilustrasi. Foto: net.
Ilustrasi. Foto: net.

MASALAH krisis pangan tidak sama persis dengan masalah laju inflasi tinggi yang bersumber dari pangan. Laju inflasi tinggi pada bulan Juni tahun 2022, yang bersumber dari sayur-mayur bukanlah berasal dari produksi sayur-mayur yang menurun, melainkan produksi sayur-mayur meningkat, namun harga jual eceran sayur-mayur masih naik.

Persoalan justru berasal dari tekanan kenaikan upah tenaga kerja dan kenaikan harga eceran pupuk terhadap kenaikan harga sayur-mayur, sekalipun pemerintah telah berusaha menata upah menggunakan instrumen upah minimum dan subsidi harga pupuk.

Yang bermasalah adalah ketersediaan pupuk bersubsidi dibandingkan pupuk non subsidi. Harga pupuk non subsidi terpengaruh oleh kenaikan indeks harga gas alam tingkat dunia, yang merupakan bahan baku untuk memproduksi pupuk urea.

Harga pupuk non subsidi naik, meskipun pemerintah telah membuat harga acuan penjualan gas alam ke pabrik yang memproduksi pupuk.

Kemudian upah tenaga kerja terdorong naik oleh kenaikan harga BBM nonsubsidi. Kenaikan bukan berasal dari pembentuk biaya variabel dari proses produksi, melainkan oleh faktor psikologis dari kenaikan harga BBM nonsubsidi kepada biaya overhead dari produksi barang dan jasa. Namun, semestinya hal itu tidak meningkatkan harga jual dan harga beli konsumsi barang dan jasa.

Akan tetapi harga eceran dari makanan, minuman, dan tembakau tetap naik dan menjadi sumber inflasi tertinggi pada sektor pangan. Hal itu mendorong upah tenaga kerja juga naik.

Sekalipun masalah krisis harga sayur-mayur dapat diatasi, apabila rumah tangga menanam sayur-mayur sendiri menggunakan metoda hidroponik di perkotaan dan di lahan kebun pekarangan untuk rumah tangga di perdesaan, namun gagasan swasembada tingkat ekonomi rumah tangga yang seperti tidak terhindar dari kritik.

Misalnya, ketika harga telurdan daging ayam ras naik, kemudian rumah tangga di perkotaan mengalami kesulitan untuk beternak ayam ras dalam halaman pekarangan mereka, yang langka memiliki lahan pekarangan dibandingkan menanam sayur-mayur secara hidroponik.

Berdasarkan data neraca pangan dari Organisasi Pangan Dunia, sekalipun tahun 2019, namun itu informasi yang tersedia. Potensi krisis pangan ditemukan pada komoditas yang kandungan impornya besar, seperti gandum, cassava, gula, kacang kedelai, jagung, kacang tanah, daging sapi, ikan pelagis, dan spices.

Di samping itu komoditas pangan yang berorientasi ekspor juga terbukti pernah menimbulkan krisis ketersediaan dan tingginya harga jual produk hilirisasi pangan, seperti produk dari minyak sawit, palm kernel oil, dan kelapa termasuk kopra.

Untuk itu strategi diversifikasi konsumsi pangan, mengurangi tingkat selera dalam mengkonsumsi pangan, inovasi produktivitas tinggi, dan penataan regulasi perdagangan menjadi benteng penentu daya tahan perekonomian dalam menghadapi krisis pangan. 

| Peneliti Indef dan Pengajar Universitas Mercu Buana.