Power Wheeling Ketenagalistrikan Kuno dan Manipulatif

Ilustrasi. Foto: net.
Ilustrasi. Foto: net.

POWER wheeling sebenarnya sudah kuno, istilahnya saja karena berbahasa inggris maka jadi tampak kedengaran keren. Orang bule mengatakan ini adalah sistem privatisasi jaringan. Di Indonesia, pengamat menyebutnya sebagai unbundling sektor ketenagalistrikan.

Ide privatisasi jaringan melalui power wheeling atau unbundling, berusaha dimasukkan ke dalam sistem ketenagalistrikan di Indonesia. Padahal tidak sesuai, baik karena konstitusi dan UU ketenagalistrikan, serta kondisi obyektif dan geografis Indonesia.

Usaha unbundling ini sejak awal reformasi melalui UU ketenagalistrikan, namun selalu dibatakkan oleh Mahkamah Konstitusi. Begitu juga selalu gagal diatur dalam peraturan turunannya. Hal ini pula yang membuat menteri ESDM kebingungan kareka terus memaksakan diri berfikir soal ini.

Setelah gagal dimasukkan ke dalam UU ketenagalistrikan, maka unbundling coba dimasukkan ke dalam RUU Energi Baru Terbaharukan (EBT). Stretegi ini kelihatannya ingin memanfaatkan tangan internasional atau mancing uang internasional yang sedang giat kampanye soal transisi energy, jadi coba dimanipulasi dengan pancingan sistem power wheeling ketenagaliatrikan.

Padahal power wbeeling hal yang tidak sejalan nyambung dengan transisi energi. Transisi energi yaitu upaya meningkatkan p3nggunaan pembangkit bauran energy primer. Tidak bergantung batubara dan minyak. Lagi pula internasional tidak pernah menyinggung power wheeling dalam konteks transisi energi.

Sistem power wheeling sejarahnya bukan demikian. Di berbagai negara sistem ini dimaksudkkan untuk meningkatkan rasio  elektrifikasi, demikian juga di Indonesia. Jadi dalam konsteks Indonesia power wheeling sudah terlampaui. Indonesia ini mengalami over supply listrik. Yakni sebagian listrik yang dihasilkan PLN dan swasta yang dibeli PLN tidak dapat terjual. Malah rasio elektrifikasi juga sudah hampir 100 persen. Bahkan sudah bisa jual listrik ke negara tetanga.

Jadi memasukkan power wheeling dalam UU EBT itu salah kaprah, dan cenderung manipulatif. Lagi pula UU EBT ini melangkahnya terlalu jauh. Mau mengatur listrik tapi menabrak UU ketenagalistrikan. Mau mengatur minyak menabrak UU migas, mau mengatur energi fosil tapi menabrak UU minerba. Akhirnya DPR meraba raba,  raba atas raba bawah, eh salah pegang.

Sebaiknya UU EBT ini fokus saja mengatur bagaimana menjadikan sampah sebagai bahan bakar, misalnya sampah yang dihasilkam  masyarakat  yang melimpah dan dibuang sembarangan tempat bisa dijadikan bahan bakar pengganti batubara.

Jika ini yang dilakukan, maka DPR menempatkan kontek EBT yang inclusive dengan mengajak rakyat mengumpukan sampah lalu dijual ke PLN dengan harga 70 dolar AS per ton atau seharga batubara.

| Penulis adalah peneliti asosiasi politik dan ekonomi Indonesia.