PR Besar Jenderal Muda


PRESIDEN Joko Widodo melantik Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Pol Idham Aziz. Sedari awal, penunjukan Listyo Sigit Prabowo sebagai calon tunggal Kapolri memicu pro-kontra di masyarakat.

Ada pihak mempertanyakan alasan di balik keputusan Presiden Jokowi tersebut. Selain tak ada tandingan, sosok Listyo yang terbilang muda juga menjadi sorotan.

Dari lima nama Jenderal yang diajukan Kompolnas ke Presiden Jokowi, Listyo merupakan Jenderal termuda. Listyo akan melangkahi dua angkatan setelah kapolri saat ini Jenderal Idham Azis, yang merupakan Akpol Angkatan 1988.

Ada yang menilai, keputusan Jokowi memilih Sigit juga memunculkan prediksi dan spekulasi. Pasalnya, alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1991 ini dinilai tak memiliki prestasi gemilang. Selain itu, perwira ini juga bukan lulusan terbaik Akademi Kepolisian.

Bahkan ada dugaan kuat, Jokowi memilih Sigit karena faktor kedekatan. Sigit pernah menjadi Kapolres Surakarta saat Jokowi masih menjabat sebagai Wali Kota Surakarta. Selain itu, bekas Kapolda Banten ini juga pernah menjadi ajudan Jokowi saat menjadi presiden di periode pertama.

Akhirnya cerita berakhir, apapun kritik publik, hari ini Jokowi melantik Sigit menjadi Kapolri. Sejumlah pekerjaan rumah menunggu. Satu yang terpenting adalah menuntaskan reformasi di tubuh Kepolisian dengan mengacu pada mandat konstitusionalnya, serta tujuan dan batasan yang diatur undang-undang, khususnya UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Sigit juga dituntut membangun soliditas Korps Bhayangkara. Ini dilakukan guna memupus potensi resistensi di internal Polri. Pasalnya, Sigit akan dihadapkan dengan resistensi jenderal-jenderal yang lebih senior saat menjadi orang nomor satu di Polri. Ia harus bisa mengatasi potensi resistensi para senior yang (merasa) dilompati dan mengakomodasi berbagai kepentingan di internal Polri.

Pelantikan Sigit ini memunculkan surplus Pati dan Kombes di tubuh Polri. Sigit harus mampu menata ulang struktur di internal Polri agar lebih seimbang. Polri tak bisa lagi hanya menebar anggotanya untuk berkarier di luar institusi Polri. Apalagi di tengah kritik terhadap Polri yang banyak menduduki jabatan publik dan posisi strategis di luar tubuh Polri.

Tugas yang tak kalah penting bagi Sigit adalah mensterilkan Polri dari tarikan dan kepentingan politik. Sigit harus bisa menunjukkan kepada publik bahwa Polri profesional dan independen, meski ia memiliki kedekatan dengan Presiden Jokowi.

Sigit harus memastikan bahwa ia mampu mengembalikan Polri kepada khittahnya, yakni mengayomi dan melindungi masyarakat tanpa kecuali. Sigit juga harus mampu membawa kepolisian merespons semakin berkembang dan inovatifnya teknologi informasi dan komunikasi. Kepolisian harus makin siap dengan revolusi 4.0 yang membuat ragam kejahatan jadi lebih modern karena didukung teknologi.

Sigit juga harus memberikan solusi yang konkret terhadap permasalahan yang dinilai mendasar di tubuh Polri seperti represifitas aparat, penyiksaan, extrajudicial killing, penempatan anggota Polri pada jabatan di luar organisasi Polri, kontrol pertanggungjawaban etik, korupsi di tubuh Polri, penghalangan bantuan hukum, dan krisis keteladanan dalam pola hidup sederhana di kalangan petinggi kepolisian.

Jika masalah-masalah ini tidak dievaluasi dan dicarikan solusinya maka sulit untuk menghadirkan keyakinan publik bahwa kita memiliki kepolisian yang profesional, modern, demokratis, terpercaya, dan dicintai di bawah kepemimpinan Sigit. 

| Penulis adalah Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI.