Prabowo, Capres atau King Maker?

Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Foto: net.
Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Foto: net.

NYAPRES, itu ambisi kuat Prabowo Subianto. Sudah dua kali dilakoninya, 2014 dan 2019. Dua kali pula kalah dengan Jokowi. Nasib belum baik.

Tahun 2024, Prabowo berencana nyapres lagi. Kali ini lebih berat. Tidak hanya berat untuk menang, tapi berat untuk dapat tiket. Jumlah kursi Gerindra tidak cukup untuk nyapres (12,57 persen). Butuh partai lain.

Hanya PKB yang bersedia. Tapi dengan satu syarat: Cak Imin jadi cawapres. Syarat yang sulit dipenuhi oleh Prabowo. Kenapa? Cak Imin tidak mampu dongkrak suara Prabowo.

Partai lain? Belum ada yang minat. Tidak ada tanda-tanda partai lain mau Prabowo. Sejak Prabowo bergabung ke kabinet Jokowi, elektabilitasnya rontok. Terus turun secara konsisten. Ini konsekuensi pilihan politik. Pemilih oposisi hengkang, pendukung penguasa enggan. Bergabungnya Prabowo ke istana tidak memiliki coattail effect dari para pendukung Jokowi.

Pilpres 2019, kenapa suara Prabowo tinggi? Karena Prabowo plus Gerindra adalah oposisi. Mereka yang tidak suka Jokowi, lari ke Prabowo. Tidak semua yang pilih Prabowo itu karena suka Prabowo. Tidak! Banyak orang pilih Prabowo karena gak suka Jokowi. Dan sekarang, Prabowo ada di kubu Jokowi. Otomatis, banyak yang hengkang dari Prabowo. Lihat tren survei Prabowo, terus turun. Sementara, pendukung Jokowi enggan beralih ke Prabowo.

Sulit bagi Prabowo untuk recovery. Karena itu, sulit juga bagi Prabowo mendapatkan partner koalisi. Bagi banyak partai, Prabowo dianggap tidak menarik lagi. Di sini, Prabowo butuh tangan Jokowi.

Prabowo berharap intervensi Jokowi ke Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yaitu Golkar, PAN, dan PPP bisa menjadi malaikat penolong bagi Prabowo. Tapi ini tidak mudah. Meski diintervensi Jokowi, anggota KIB berat untuk dukung Prabowo. Prabowo dianggap kartu mati. Sementara partai-partai di KIB masih ingin hidup.

Tak bisa dibantah lagi, KIB mau bubar. Tak mungkin bertahan tanpa capres. Anggota KIB sedang cari sekoci masing-masing. PPP sepertinya akan merapat ke PDIP. Faktor hadirnya Romahurmuziy semakin menguatkan PPP untuk merapat ke PDIP. Meski langkah ini diprediksi akan semakin membuat PPP rontok suaranya.

Kenapa? Karena mayoritas pemilih PPP anti-PDIP. Langkah PPP merapat ke PDIP bisa jadi bumerang. Tapi, sebagaimana pemilu sebelumnya, Romahurmuziy tampaknya tidak memiliki pertimbangan itu. Pemilu 2019, PPP hampir tidak lolos. Sepertinya, ini tidak cukup menjadi pelajaran bagi elite PPP saat ini.

Lalu, ke mana bergabungnya Golkar dan PAN? Apakah akan ke PDIP juga? Atau ke Prabowo?

Golkar pasti cari capres yang kuat dan potensial menang. Tampaknya tidak ke PDIP, juga tidak ke Prabowo. Sementara PAN, tidak ada yang lebih aman bagi suaranya kecuali mendukung Anies. Kapan? Setelah Jokowi menyatakan dukungannya ke Anies. Sebab, pilihan realistis bagi Jokowi itu mendukung Anies. Tidak ada yang lebih realistis dari pilihan mendukung Anies.

Bagaimana dengan Prabowo? Tetap sulit maju. Kecuali jika Prabowo legawa terima Cak Imin sebagai cawapres. Konsekuensinya, potensi kekalahannya sangat besar. Prabowo-Cak Imin adalah pasangan yang tidak memberi nilai tambah satu dengan yang lain.

Akhir-akhir ini, santer kabar PKB justru didorong untuk menjajaki koalisi dengan Anies. Para ulama Jatim dan Jateng mendesak Anies-Cak Imin.

Tanpa Cak Imin, besar kemungkinan Prabowo gagal nyapres. Dengan begitu, Prabowo bisa naik kelas menjadi King Maker. Otak yang mendesain kampanye pemenangan capres-cawapres.

Lalu, kemana Gerindra diarahkan jika Prabowo tidak dapat tiket? Ke Anies Baswedan atau ke Puan Maharani? Prabowo pasti akan cari capres yang potensi menangnya lebih besar. Siapa itu? Anies!

Peluang inilah yang dimanfaatkan oleh Surya Paloh, King Maker Anies untuk membujuk Prabowo agar bersama-sama menjadi King Maker Anies (5/3). Bagi Paloh, mendukung Anies adalah pilihan yang paling realistis bagi Prabowo dan juga Gerindra.

Untuk sementara, Prabowo masih enggan. Keputusan politik Prabowo masih bisa berubah. Hanya soal waktu. Sebab, dunia politik tidak ditentukan oleh "like and dislike". Tapi lebih ditentukan oleh dua hal yaitu kondisi objektif dan kebutuhan objektif. Itulah sunnatullah yang akan selalu berlaku di sepanjang sejarah.

|Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.