Presiden Ashraf Ghani Disebut Ingin Mundur sebelum Serangan Taliban ke Kabul

Ashraf Ghani. Foto: net.
Ashraf Ghani. Foto: net.

Keputusan Ashraf Ghani, bekas Presiden Afganistan, yang digulingkan untuk meninggalkan negaranya ketika Taliban menguasai ibukota Kabul telah memicu banyak reaksi. Sebuah sumber di kabinet Ghani mengatakan sang presiden berniat mundur dan menyerahkan pemerintahan ke tangan Taliban.


Bekas pejabat senior itu mengungkap Ghani dan para stafnya dibuat terkejut dengan serangan kilat yang dilakukan Taliban ke Kabul. Itu lantaran terjadi di tengah upaya kesepakatan damai antara Taliban dan pemerintah yang ditengahi AS.

"Pada hari-hari menjelang kedatangan Taliban di Kabul, kami telah mengerjakan kesepakatan dengan AS untuk menyerahkan secara damai kepada pemerintah inklusif dan agar Presiden Ghani mengundurkan diri," ungkapnya, seperti dimuat CNN, kemarin.

Beberapa jam sebelum masuknya Taliban ke Kabul pada Ahad pekan lalu, seorang anggota terkemuka dari kelompok yang berafiliasi dengan Taliban di Kabul bertemu dengan pejabat senior pemerintahan Ghani. Ketika itu ia mengatakan pemerintahan Ghani harus mundur.

Menurut bekas pejabat senior itu, Ghani yang terkejut dengan kedatangan Taliban hanya melarikan diri dengan pakaian yang ia kenakan, dan tidak membawa banyak uang ke dalam mobil seperti yang diberitakan.

"Kami telah menerima informasi intelijen selama lebih dari setahun bahwa presiden akan dibunuh jika terjadi pengambilalihan," kata sang pejabat.

Sebelum terbang ke Uni Emirat Arab (UEA), ia mengatakan, Ghani pada awalnya menginap satu malam di Termez, Uzbekistan.

Da juga mengungkapkan, pemerintah berusaha untuk menahan Kandahar yang merupakan basis utama Taliban dengan mengerahkan kekuatan tambahan ke wilayah sekitarnya. Namun tanpa disangka, Taliban ternyata mencapai Kabul lebih cepat.

"Kami, pemerintah Afghanistan dan mitra internasional kami, meremehkan efek penarikan AS. Kami berpikir, dan Amerika juga memperkirakan, bahwa kami memiliki setidaknya hingga pertengahan September untuk membuat kesepakatan politik dan mengkonsolidasikan kekuatan kami untuk menciptakan kebuntuan militer," kata pejabat itu.