Punya Ikatan Sejarah, India Siap Dukung Industri Fesyen di Aceh

Dibudpar Aceh menyerahkan cinderamata kepada Konjen India. Foto: ist
Dibudpar Aceh menyerahkan cinderamata kepada Konjen India. Foto: ist

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Jamaluddin, mengunjungi Konsulat Jenderal (Konjen) India di Medan Baru, Kota Medan. Pertemuan itu untuk membahas kerja sama untuk pemulihan ekonomi di tengah pandemi Covid-19.


“Aceh dan India memiliki ikatan emosional yang kuat terlebih lagi dari sisi sejarah,” kata Jamaluddin, dalam pertemuan itu, pekan lalu. 

Menurut Jamaluddin, ikatan emosional dari segi sejarah itu bisa dibuktikan lewat akulturasi budaya India di hampir seluruh budaya Aceh, hampir memiliki kemiripan. Seperti kuliner, upacara adat bahkan motif-motif tradisional Aceh.

Tentu, kata dia, hal itu disebabkan oleh aktivitas perdagangan rempah Aceh dan India sebagai pemasok tekstil terbesar pada masa lalu.

Konjen India, Rhagu Gururaj, menjelaskan India sebagai negara penghasil tekstil terbesar di dunia, sangat mendukung program industri fesyen di Aceh. Kemungkinan kerja sama itu di bidang industri, melalui bantuan mesin tekstil.

“Kami sangat dukung, kami persilakan Pemerintah Aceh untuk menyediakan platform khusus untuk kerja sama ini, agar bisa merealisasikan dalam bidang industri fesyen kedepan,” kata Rhagu.

Kabid Sejarah dan Nilai Budaya, Evi Mayasari, menyebutkan hal tersebut selaras dengan usaha Pemerintah Aceh dalam membangkitkan kembali industri kain tradisional. Misalkan, tenunaa atau songket Aceh.

Upaya itu dilakukan bentuk pelestarian terhadap karya budaya Aceh yang hampir punah lewat industri fesyen.

Sebagai penduduk yang mayoritas muslim, kata Evi, kebutuhan fesyen muslim terus mengalami peningkatan.

“Permasalahanya saat ini, Aceh belum memiliki industri tekstil yang memadai, bahan baku untuk ini masih sangat terbatas sehingga harga bahan baku menjadi sangat mahal,” kata Evi.

Evi menjelaskan keadaan bahan baku yang sangat mahal, produksi kain tenun atau songket Aceh pun sangat rendah. Umumnya, pekerjaan dilakukan dengan alat tradisional. Karena itu tidak mampu memasok kebutuhan pasar dunia.