Putusan Penundaan Pemilu yang Berpotensi Non Eksekutabel

Ilustrasi. Foto: Hukumonline.com
Ilustrasi. Foto: Hukumonline.com

PENGADILAN Negeri Jakarta Pusat telah menerbitkan putusan yang mengejutkan yaitu: “Menghukum  Komisi Pemilihan Umum untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 hari”. 

Putusan mengejutkan ini terbit dalam perkara Gugatan  Perdata No: 757/Pdt.G/2002/PN-Jkt Ps antara Dewan Pimpinan Partai Prima melawan Komisi Pemilihan Umum RI dibacakan tanggal 2 Maret 2023.

Kontroversi atas putusan ini pun menyeruak karena secara terang Putusan ini seakan-akan telah memberikan pengaruh yang sangat luas kepada persiapan Pemilu tahun 2024. Beberapa pertanyaan yang perlu mendapatkan pembahasan seperti : Apakah pengadilan negeri Jakarta pusat berwenang mengadili KPU? Apakah benar Putusan ini dalam dilaksanakan (Eksekutabel) ?

Gugatan Perdata Terhadap KPU (Kewenangan Pengadilan Negeri atau PTUN?)

Sebelum berlaku nya UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan semua Gugatan Perbuatan Melawan Hukum baik kepada pribadi, badan swasta maupun Badan/Pejabat Pemerintahan diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri. Dalam terminologi hukum lama Gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap pribadi maupun badan swasta disebut Onrechmatigedaad sedangkan terhadap pemerintahan disebut sebagai Onrechmatige Overheids Daad. 

Sejak terbitnya UU 30/2014 kewenangan pemeriksaan Onrechmatige Overheids Daad telah beralih ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal ini diperjelas tata laksana teknisnya melalui Perma No 2/2019 tentang pedoman penyelesaian sengketa tindakan pemerintahan dan kewenangan mengadili perbuatan melawan hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechmatige overheidsdaad).

Pertanyaannya, apakah KPU adalah bahagian dari Badan/Pejabat Pemerintahan seperti yang dimaksud UU 30/2014 Jo Perma No 2/2019 ? Beberapa ketentuan hukum menunjukkan bahwa KPU bukanlah Badan/Pejabat Pemerintahan. Pasal 1 angka 8 UU Pemilu 2017 menegaskan bahwa KPU adalah Lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, mandiri dalam melaksanakan pemilu. 

Kata “mandiri” pada ketentuan pasal 1 angka 8 UU Pemilu ini mengindikasikan bahwa KPU bukanlah bahagian dari Badan/Pejabat Pemerintahan. Pertanyaan hukum ini menjadi lebih sensitif lagi apabila kita mengingat apakah mungkin suatu penyelenggara Pemilu yang diharuskan independen dikualifisir sebagai organ pemerintahan?. Bukankah penyelenggara pemilu justru harus independen dan berjarak dari elemen parpol maupun pemerintahan?

Oleh karena itu pandangan yang mengumandangkan bahwa Gugatan terhadap KPU bukanlah wewenang Pengadilan Negeri cukup mendapatkan kontra argumen yang berimbang. Apabila Gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap KPU diajukan ke PTUN bisa jadi PTUN berdalil bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang karena KPU bukanlah badan/pejabat pemerintahan sehingga tidak dapat diperlakukan berdasarkan UU 30/2014 Jo Perma No 2/2019. 

Membaca Putusan Perdata Terhadap KPU

Seperti yang dapat dibaca dari putusan, KPU diputus telah melakukkan perbuatan melawan hukum dan oleh karena itu dihukum untuk membayar ganti rugi sejumlah uang kepada Penggugat dan tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024. Sebagaimana hal nya suatu putusan dalam perkara perdata putusan ini terdiri atas 2 sifat  putusan yakni putusan yang sifatnya declaratoir dan putusan yang sifatnya condemnatoir.

Suatu putusan declaratoir tidak menghukum melainkan menyatakan suatu keadaan hukum. Dalam putusan KPU ini dapat dilihat dari putusan yang menyatakan bahwa Penggugat adalah parpol yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh Tergugat (KPU). 

Putusan declaratoir lainnya yaitu adalah yang menyatakan bahwa KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan yang bersifat declaratoir tidak membutuhkan suatu eksekusi dan akan mengikat setelah kesempatan upaya hukum berakhir (berkekuatan hukum tetap).

Suatu putusan condemnatoir bersifat menghukum pihak Tergugat untuk memenuhi isi putusan. Dalam putusan ini pihak Tergugat diwajibkan untuk melaksanakan isi putusan sebagai bentuk eksekusi. Dalam kasus KPU ini putusan yang bersifat condemnatoir ada 2 yaitu menghukum KPU membayar ganti rugi dan menghukum tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu. 

Putusan yang menghukum ini membutuhkan suatu eksekusi berdasarkan permohonan eksekusi oleh pihak yang memenangkan. Atas putusan condemnatoir penggugat mengajukan permohonan eksekusi agar pihak tergugat yang dikalahkan ditetapkan/diperintahkan untuk melaksanakan isi putusan. 

Eksekusi putusan sepenuhnya menjadi kewenangan Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara. Ketua Pengadilan Negeri lah yang menilai apakah suatu putusan dapat dieksekusi (eksekutabel) atau tidak memungkinkan untuk dieksekusi (non eksekutabel)

Putusan Penundaan Pemilu Yang Berpotensi Non Eksekutabel

Ada beberapa kejanggalan yang mengherankan dan sangat perlu untuk dikritisi dari putusan condemnatoir terhadap KPU ini.

Pertama, suatu perkara gugatan perdata harus nya didasarkan pada kepentingan atau “point de interest” dari pihak yang menuntut yaitu Penggugat. Putusan yang menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu tidak semata terkait dengan point de interest penggugat yaitu Partai Prima melainkan terkait kepentingan berbagai pihak lain seperti partai lain dan juga kepentingan penyeleggaraan pemilu yang tidak lain adalah Kepentingan Negara Republik Indonesia. Dari sisi ini dapat dinilai Putusan ini diberikan berdasarkan suatu keadaan kekurangan pihak. Mengapa kurang pihak? yang akan menanggung akibat penundaan pemilu adalah seluruh partai yang lolos verifikasi berikut seluruh bangsa Indonesia, namun yang ditarik sebagai Tergugat hanyalah KPU sebagai penyelenggara Pemilu.  

Kedua, putusan yang menunda ini tidak didahului dengan adanya putusan declaratoir tentang hasil verifikasi partai yang telah diputuskan oleh KPU sebelumnya sehingga berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum. Praktis putusan ini tidak mempertimbangkan kekacauan yang akan timbul apabila benar Pelaksanaan Pemilu ditunda dan diulang dari tahap awal. Dengan tidak adanya kebatalan hasil kerja KPU sebelum putusan maka terjadi ketidakpastian apabila putusan ini dilaksanakan (dieksekusi).

Ketiga, tidak ada putusan condemnatoir lainnya yang mengancamkan hukuman keperdataan kepada KPU apabila KPU tidak melaksanakan penundaan. Dalam perkara perdata umumnya terdapat hukuman pengenaan uang paksa (dwangsom) kepada Tergugat yang tidak melaksanakan suatu putusan yang bersifat condemnatoir. Dwangsom tidak dituntut oleh Penggugat dalam Gugatannya dan oleh karenanya sangat wajar tidak terdapat dalam putusan.

Tentu akan banyak kejanggalan yang akan ditemukan dalam putusan yang menghukum penundaan pemilu ini. Oleh karena itu adalah sangat wajar untuk sementara ini menilai putusan penundaan pemilu ini berpotensi untuk dinyatakan tidak dapat dieksekusi (Non Eksekutabel). 

Keadaan Non Eksekutabel ini akan dipengaruhi oleh ikhtiar KPU untuk melakukan upaya hukum baik banding, kasasi maupun perlawanan (verzet) terhadap pelaksanaan isi putusan. Upaya perlawanan secara hukum juga dapat dilakukan oleh partai-partai politik dan seluruh elemen bangsa yang memiliki kepentingan atas terselenggaranya pemilu sesuai jadwal.

|Penulis berprofesi sebagai advokat