Putusan Tidak Sesuai Kewenangan

Palu hakim. Foto: ist.
Palu hakim. Foto: ist.

DUNIA kepemiluan di Indonesia sedang "geger geden". Muasalnya adalah perintah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada KPU RI untuk melakukan proses yang nantinya dapat menunda Pemilihan Umum. Putusan ini muncul atas pertimbangan yang memperhatikan dalil-dalil dari pemohon dalam hal ini Partai Prima.

Di dalam dunia peradilan memang dikenal beberapa istilah untuk menyebutkan putusan yang kadang di luar permohonan atau penuntutan. Hakim biasanya memutuskan demikian karena menemukan fakta-fakta baru di persidangan yang tidak terungkap dalam dakwaan ataupun juga gugatan.

Putusan yang dikeluarkan itu nantinya dapat di luar tuntutan atau permohonan dalam arti berkurang (infra petita) maupun melebihkan (ultra petita).

Hal Mendasar Dalam Memutus

Akan tetapi, terlepas dari infra petita atau ultra petita, hal mendasar dalam sifat putusan yaitu setiap putusan itu terikat pada apa yang dinamakan kewenangan kompetensi pengadilan. Kewenangan pengadilan sendiri terbagi dalam dua hal. Pertama kewenangan relatif dan kewenangan absolut.

Kewenangan relatif berkaitan dengan yurisdiksi pengadilan. Semisal terjadi pembunuhan di Brebes maka kewenangan untuk mengadili perkara tersebut adalah Pengadilan Negeri Brebes. Meskipun ditemukan fakta bahwa tersangka ditangkap di daerah Jember.

Sementara kewenangan absolut adalah kewenangan yang diberikan oleh UU kepada masing-masing pengadilan. Semisal Pengadilan Agama hanya berwenang memutus proses perceraian bagi pasangan perkawinan yang beragama Islam. Apabila alasan perceraian itu karena adanya KDRT maka Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili KDRT tersebut. Kewenangan memeriksa dan mengadili perkara KDRT ada pada Pengadilan Negeri.

Analisa Putusan Perkara Prima

Jika kita analisis maka setidaknya terdapat dua permasalahan dalam putusan PN Jakarta Pusat nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst ini. Permasalahan itu utamanya disebabkan oleh adanya kecacatan secara kompetensi kewenangan.

Permasalahan pertama adalah terkait tetap diperiksa dan diadilinya perkara yang bukan kewenangannya. Sementara yang kedua adalah memutuskan sesuatu yang bukan kewenangannya.

Jika kita merujuk pada Pasal 471 UU Nomor 7/2022 tentang Pemilihan Umum maka kewenangan untuk menenerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Proses Pemilihan Umum adalah kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Mahkamah Agung pun telah menerbitkan aturan turunan atas Pasal a quo dalam Perma Nomor 5 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dari sini sesungguhnya jelas sudah semestinya permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu yang diajukan ke Pengadilan Negeri tersebut tidak dapat diterima. Alasan tidak diterimanya (Niet Onvankelijke Verklaard) adalah karena alasan kewenangan pengadilan.

Permasalahan kedua adalah adanya kalimat perintah "menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilihan umum 2024 sejak putusan diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari" dalam Putusan PN Jakarta Pusat nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. Memang secara eksplisit putusan tersebut tidak menyatakan "penundaan" tetapi secara implisit dapat dimaknai adanya langkah untuk penundaan.

Hal ini jelas bertentangan dengan kewenangan Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri tidak mempunyai kewenangan sama sekali untuk menguji atau bahkan mengubah norma yang sudah ditentukan di dalam UUD 1945.

Norma yang dimaksud adalah norma dalam Pasal 7 UUD 1945 yang mengatakan bahwa "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."

Secara konstitusional kewenangan untuk menguji atau mengubah UUD adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Maka dapat dikatakan putusan yang berkaitan dengan hukuman kepada KPU tentang proses tahapan Pemilu tersebut inkonstitusional.

Penutup

Segala putusan hakim harus dihormati dan dianggap benar. Oleh sebab itu untuk menguji dan mengubahnya haruslah melalui proses peradilan yang telah sediakan. Yaitu melalui proses banding atas putusan yang dianggap tidak pas atau sesuai dengan keinginan Pemohon. Dalam hal ini artinya KPU RI harus segera melakukan banding agar putusan PN Jakarta Pusat nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu dapat dibatalkan.

| Penulis adalah dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta.