PWI Dorong Penghapusan Pasal Karet Dalam UU ITE

Ketua PWI Pusat, Atal S Depari. Foto: RMOL.
Ketua PWI Pusat, Atal S Depari. Foto: RMOL.

Ketua PWI Pusat, Atal S Depari mengatakan, pihaknya mendorong agar pasal-pasal yang kerap kali digunakan untuk ujaran kebencian dan atau pencemaran nama baik dihapus dari UU ITE. Pasal multitafsir alias pasal karet dinilai sangat merepotkan kerja para jurnalis. 


"Karena terus terang, UU ITE ini banyak sekali yang merepotkan wartawan. Jangan lihat hanya di Jakarta. Di daerah, mereka sering mendapat tekanan begitu," ujar Atal dalam webinar PWI Pusat bertajuk 'Menyikapi Perubahan UU ITE', Kamis, 25 Februari 2021.

Bahkan, untuk mempercepat proses perbaikan UU ITE ini, PWI menyarankan Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu). Kata Atal S Depari, PWI pun berpandangan regulasi yang dibuat pada 2008 silam ini dan pernah direvisi satu kali pada 2016 sudah tidak sesuai semangat pembentukannya.

Atal mengatakan pasal-pasal karet itu seperti diselundupkan dalam pembahasan UU ITE. Karena aturan itu seharusnya berbicara tentang perlindungan data dan bisnis elektronik. Namun di dalam aturan itu diselipkan pasal-pasal tentang ujaran kebencian dan sejenisnya. 

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mahfud Md, mengatakan pemerintah membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat ikut terlibat di dalam rencana revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). 

Sikap pemerintah itu disampaikan Presiden Joko Widodo untuk mempertimbangkan pembentukan kesepakatan baru yang mencakup dua hal. “Pertama, tentang kriteria implementatif pasal-pasal di dalam UU ITE agar bisa dijalanakan secara adil. Kedua, menelaah kemungkinan dilakukannya revisi atau perubahan regulasi, jika memang di dalamnya ada substansi-substansi yang berwatak pasal karet,” kata Mahfud.

Mahfud mengatakan negara dapat merevisi aturan itu, entah lewat mencabut, menambah kalimat atau menambah penjelasan di dalam UU itu. Bahkan, jika diperlukan, kata Mahfud, ditambahkan norma baru dalam undang-undang itu.

Mahfud mengatakan hukum dapat diubah dengan kesepakatan baru jika kesepakatan sebelumnya dianggap tidak tepat. Di dalam teori hukum yang paling dasar, kata Mahfud, hukum selalu berubah sesuai dengan perubahan masyarakat.

"Masyarakat menentukan posisi hukum dan karakter hukum yang harus dibuat oleh masyarakat itu sendiri," kata Mahfud. Bahkan, Mahfud menggunakan kaidah fiqih yang memiliki dasar bahwa hukum selalu bisa diubah sesuai perubahan zaman.