Qanun Aceh Tak Bisa Menjawab Persoalan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan

Riswati. Foto: Fahmi
Riswati. Foto: Fahmi

Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati, menilai substansibdari qanun Aceh tidak cukup menjawab persoalan kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam penanganan kasus itu pun sangat berkurang anggaranya.


“Terkait pelayanan perempuan korban kekerasan di Aceh, ternyata tidak semua lembaga pelayanan dari pemerintah di kabupaten atau kota aktif, alokasi anggaran sangat kecil, terdapat pergantian personil yang sangat cepat, serta kualitas pelayanan yang rendah,” kata Riswati kepada Kantor Berita RMOLAceh, Rabu, 6 Oktober 2021.

Riswati mengatakan sistem pengawasan dan implementasi hak-hak perempuan di Aceh harus dioptimalkan. Seperti kasus di  Pidie, anak sekolah dasaf diperkosa. 

“Di sisi lain pemerintah harus menghadirkan kebijakan yang operasional untuk menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak,” kata dia.

Menurut Riswati, penguatan dari komunitas juga sangat penting dalam hal pemenuhan hak-hak perempuan di Aceh. Hukuman yang jera kepada pelaku kekerasan seksual harus didukung semua pihak.

“Orang tua harus benar-benar memenuhi kewajibannya untuk anak. Dia harus memenuhi kasih sayang, perhatian, sandang, pangan. Walaupun mungkin tidak bisa dipenuhi secara sempurna, tapi perlu diperhatikan,” katanya.

Salah satu cara menekan kasus kekerasan itu, kata Riswati, khususnya untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga dilakukan dengan menguatkan delapan fungsi keluarga. 

Yaitu, fungsi agama, fungsi kasih sayang, fungsi perlindungan, fungsi sosial budaya, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi serta fungsi pembinaan lingkungan.

| Laporan: Fahmi