Refleksi 20 tahun Darurat Militer Aceh: Kekerasan Seksual terhadap Perempuan Sulit Dilaporkan

 Bekas Komisioner Komnas Perempuan, Azriana Manalu, saat diskusi Refleksi 20 tahun Darurat Militer Aceh dan Tantangan Pemulihan Bagi Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Masa Lalu’. Foto: Helena Sari/RMOLAceh.
Bekas Komisioner Komnas Perempuan, Azriana Manalu, saat diskusi Refleksi 20 tahun Darurat Militer Aceh dan Tantangan Pemulihan Bagi Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Masa Lalu’. Foto: Helena Sari/RMOLAceh.

Bekas Komisioner Komnas Perempuan, Azriana Manalu, mengatakan kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi di masa konflik sulit dilaporkan. Pasalnya, kata dia, korban cenderung diam.


“Kasus ini berbeda dengan daerah lain, seharusnya perempuan merupakan simbul harga diri," kata Azriana saat diskusi ‘Refleksi 20 tahun Darurat Militer Aceh dan Tantangan Pemulihan Bagi Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Masa Lalu’ yang digagas oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, di Banda Aceh, Jumat, 19 Mei 2023.

Menurut Azriana, dalam konteks senjata, pemerkosaan dalam konflik bukan karena tindak seks yang dilakukan pelaku. Namun hal itu merupakan strategi. Karena diyakini jika perempuan dihancurkan, kata dia, maka harkat martabat Aceh akan hilang.

Jika dilihat di masa lalu, kata Azriana, para perempuan diperlakukan buruk. Dia mengibaratkan ketika korban konflik laki-laki tidak berhasil dicari, maka yang disandera perempuan untuk memancing orang yang dicari.

"Para suami akan mencari istrinya yang disandera, setelah dicari maka tertangkaplah suami. Dulu pada Pos tertulis kalian boleh jago di hutan tapi di kota kami yang menundukkan," ujarnya.

Azriana menilai, korban kekerasan seksual konflik Aceh telah mengajarkan bahwa perempuan korban kekerasan konflik berbeda dengan korban kekerasan lainnya.

"Mereka akan jauh aksesnya, untuk mendekatkan sediakan mekanisme konfusif," ujarnya.

Azriana mengatakan korban kekerasan seksual tidak akan berani maju, akam tetapi Pemerintah dan masyarakat sipil lainnya harus menyediakan ruangnya, sementara yang saat ini para korban miliki hanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

"Penyintas kekerasan seksual akan terus sembunyi kalau tidak dibantu, laporan pengungkapan KKR Aceh akan menjelaskan yang mereka alami," ujarnya.

KKR Aceh harus keluar dengan pengungkapannya, hal ini agar semua jelas dengan tujuan para penyintas dapat pemulihan dan jaminan ketidak terulangan.

"Korban harus membangun narasi terhadap apa yang terjadi, korban berhak bicara, jangan semua ditolak, nanti akan ada persoalan lain," ujarnya, "Rumoeh geudong menyimpan sejarah kekerasan seksual, kalau KKR sudah ada maka jelas.”

Menurut Azriana, saat ini masyarakat Aceh berhutang dengan korban didalam darurat militer, bukan hanya negara tapi pegiat HAM. Dirinya berharap kedepan tidak ada lagi masalah yang harus dihadapi korban konflik dalam pemenuhan haknya.