Reformasi, Kartelisasi dan Gelombang Ketiga De-Demokratisasi

Ilustrasi. Foto: Pixabay.
Ilustrasi. Foto: Pixabay.

REFORMASI 1998 jika kita nilai hari ini sebenarnya merupakan proses demokratisasi yang tidak tuntas walaupun kita mendapatkan para pemimpin hasil liga demokrasi yaitu pemilihan umum.

Tapi benarkah pemilihan umum yang kita selenggarakan selama 22 tahun reformasi sudah memenuhi asas luber dan jurdil? Apakah demokrasi kita terkonsolidasi dan mengimplementasikan ide-ide pembaharuan dengan aktor politik yang pro-demokrasi?

Kita bisa mengklaim dua pemilu di awal reformasi adalah pemilu jujur dan adil, termasuk pemilihan presiden langsung pertama tahun 2004 di mana Presiden Megawati sebagai petahana justru kalah dari lawannya yang juga mantan menterinya sendiri, Susilo Bambang Yudhoyono. Tetapi bagaimana dengan kerusuhan-kerusuhan pasca pemilihan kepala daerah? Bagaimana pertanggungjawaban publik tentang kematian para panitia TPS dalam pemilu 2014? Bagaimana dengan isu kecurangan dan gontok-gontokan antar caleg satu partai setiap pemilihan legislatif?

Kita juga menyaksikan sendiri bagaimana proses demokratisasi dibajak oligarki. Kepentingan oligarki tidak bisa dipungkiri berada di balik revisi UU Pemberantasan Korupsi dan Omnibus Law Cipta Kerja yang sarat dengan pesanan para oligark. Jika memang proses pengesahan dua UU tersebut demokratis, tidak mungkin gerakan masyarakat sipil menggulirkan protes keras dan masif.

Dunia politik juga diguncang dengan isu perpanjangan masa jabatan presiden atau amandemen UUD agar presiden dapat menjabat tiga periode. Isu ini digulirkan oleh para menteri pemerintahan Presiden Jokowi yang lucunya kemudian ditolak sendiri oleh Jokowi.  Lucunya lagi, aspirasi para menteri yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi tentang pembatasan kekuasaan, tidak berkonsekuensi apa-apa bagi para menteri, sehingga berkembang insinuasi di masyarakat bahwa isu ini justru bergulir dari diri Presiden Jokowi sendiri entah bertujuan testing the water atau memang ada pekerjaan yang dirasa belum tuntas untuk bangsa ini.

Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah perjalanan Reformasi akan berakhir dengan De-demokratisasi?

Gelombang Ketiga Demokratisasi

Saat Huntington mengeluarkan tesisnya dalam ‘Gelombang Ketiga Demokratisasi’ (1991), Filipina baru saja menumbangkan diktator Ferdinand Marcos dalam gerakan People Power 1986, Taiwan membuka kebebasan berpartai setelah selama 40 tahun hanya diperintah Kuomintang, dan Korea Selatan di bawah Roh Tae-woo mengubah rezim otoriter menjadi demokrasi setelah dipimpin Park Chung-hee dan Chun Doo-hwan.

Lucunya, Presiden Korea setelah Roh Tae-woo yaitu Kim Young-sam memulai pengadilan atas korupsi dan kejahatan HAM mantan Presiden Chun dan Roh, keduanya divonis mati kemudian diampuni sembari dipermalukan di depan publik.

Gelombang ketiga demokratisasi berawal dari Revolusi Anyelir (Carnation Revolution) 1974, sebuah revolusi dengan keunikan tersendiri karena merupakan kudeta militer yang mengubah rezim otoriter menjadi rezim demokratis. Para perwira beraliran kiri di tubuh militer Portugas dipimpin Jenderal Antonio de Spinola merebut kekuasaan dari Perdana Menteri Marcelo Caetano yang melanjutkan rezim mendiang Antonio Salazar yang justru merupakan politisi sipil.

Setahun berikutnya, Jenderal Franco wafat dan Raja Juan Carlos I dari Spanyol memulai transisi demokrasi walaupun ditentang perwira militer hingga terjadi kup. Rezim Para Kolonel di Yunani juga tumbang setelah militer mereka kalah menghadapi invasi Turki di Siprus Utara. Dari Eropa Selatan, perubahan rezim otoriter menjadi rezim demokrasi ini mengalir bagai gelombang, menumbangkan junta militer Amerika Latin, membawa arus demokratisasi di Asia Pasifik dan meruntuhkan Komunisme di Eropa Timur. Berakhirnya Apartheid di Afrika Selatan tahun 1990 menjadi titik puncak gelombang demokratisasi ketiga.

Pada dekade 1990-an, kutub politik dunia menjadi satu yaitu Orde Internasional Liberal. Siapa yang tidak menerima arus demokratisasi, liberalisasi dan kapitalisme akan tersapu. Dunia dipimpin Orde Liberal mengintervensi rezim otoriter di Somalia, perang antar etnis di Bosnia dan Rwanda. Presiden Soeharto yang mencoba melawan arus ini dengan terpilih kembali untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR 1998 pun tersingkir dari kekuasaan.

Gelombang ketiga ini sedemikian dahsyat hingga rezim-rezim partai komunis Tiongkok dan Kuba mereformasi dirinya agar ramah dengan kapitalisme. Pilihan masyarakat dunia saat itu hanya dua, jika tidak mau membuka keran kebebasan politik, setidaknya membuka keran investasi dan pasar global.

Oligarki dan Gejala Kartelisasi

Sebagaimana proses demokratisasi yang pernah terjadi di negara-negara Barat dalam gelombang pertama dan negara-negara bekas jajahan Eropa dalam gelombang kedua, gelombang ketiga demokratisasi patuh dengan hukum besinya. Jika demokratisasi memerlukan organisasi, maka pengorganisasian menghasilkan elit oligarki (Michels, 1911).

Demokrasi akan selalu menghasilkan oligarki, selalu always dan tidak pernah never, meminjam bahasa campur-campur ala anak Jaksel.

Perbedaan mendasar antara elit oligarki hasil sistem demokrasi dan sistem otoriter tentu saja dalam posisi tawarnya. Kekuasaan elit dibatasi kekuasaan elit lainnya, seperti misalnya kekuasaan Presiden dibatasi kekuasaan elit di legislatif, partai politik, bahkan mungkin bandar-bandar politik. Huntington secara lebih jauh menyimpulkan, bisa saja seorang pemimpin dalam sistem demokrasi hanyalah boneka kepentingan yang lebih besar.

Robert Dahl menjawab sinisme tentang demokrasi dengan menyebut demokrasi adalah pilihan terbaik kedua, dan yang paling dimungkinkan terjadi adalah poliarki (Dahl, 1971) di mana semua (poli) ikut mengatur jalannya kekuasaan (arki). Realitanya tentu berbeda, karena demokrasi liberal bersaudara kandung dengan kapitalisme, maka lahirlah ketimpangan kekayaan yang dipertahankan bahkan diperdalam agar semakin timpang.

Demikianlah kelahiran oligarki sebagai politik pertahanan kekayaan material agar ketimpangan makin ekstrem (Winters, 2011) lahir sebagai anak kandung hasil hubungan inses demokrasi liberal dan kapitalisme.

Tetapi benarkah oligarki di Indonesia mampu mempengaruhi keputusan elit kekuasaan? Oligarki Indonesia sendiri tidak lahir dari kapitalisme murni, justru lahir dari kapitalisme yang dijalankan negara. Robison dan Hadiz (2004) menemukan bahwa rezim Orde Baru adalah asal mula lahirnya oligarki (Genesis of Oligarchy) di mana Soeharto sebagai primus inter pares oligarki memerlukan militer sebagai kapitalis birokrat sebagai pemilik modal dan bermitra dengan pengusaha (kebanyakan) Tionghoa sebagai kapitalis kroni untuk menjalankan kontrak pemerintah, perdagangan hingga industri.

Setelah Orde Baru tumbang, relasi kapitalis birokrat-kapitalis kroni ini berlanjut di alam demokrasi dalam organisasi politik dan ekonomi kartel. Akumulasi modal yang diperoleh relasi ini bergantung pada selama apa mereka menguasai sumber daya negara. Katz dan Mair (1995) menamakan fenomena ini sebagai kartelisasi di mana kekuatan politik partai terus-menerus menguasai sumber daya negara sebagai upaya mempertahankan posisi politik.

Konsekuensi daripada kartelisasi tentu saja partai mengalami deideologisasi karena partai hanya menjadi organisasi yang mencari jabatan saja (office-seeking) bukan menyusun kebijakan (policy-seeking) berdasarkan ideologi yang mereka anut.

Kita bisa melihat fenomena ini pada partai-partai politik Indonesia di mana partai-partai tertentu terus-menerus ikut berkuasa. Ada partai politik yang berusaha mengatur kebijakan sosial, kebijakan ekonomi ekstraktif, hingga partai yang berusaha mengatur perundang-undangan politik agar terus-menerus mendominasi kekuasaan.

Upaya kartelisasi ini bisa juga instrumen untuk menganalisa mengapa pencalonan presiden memiliki ambang batas tertentu demi mencegah calon dari partai dan akhirnya setiap partai harus membentuk koalisi. Konsekuensinya tentu saja calon-calon presiden yang akhirnya disebut belakangan ini adalah orang yang itu-itu saja.

Dalam istilah orang Betawi, calonnya 4L atau Lu Lagi dan Lu Lagi.

Dengan modus operandi demokrasi semacam ini, tidak mungkin calon-calon presiden yang baru tidak memerlukan dukungan oligarki dan tidak memerlukan partai kartel. Jika ada kandidat yang terang-terangan menunjukkan sosok independen, percayalah itu hanya politik imagologis saja.

Kesimpulan: Gelombang Ketiga De-Demokratisasi

Tiga dekade lalu, Fukuyama dengan bangga menyatakan sejarah telah berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Tetapi hari ini ia mengoreksi tesisnya sendiri dalam buku terbarunya ‘Liberalism and Its Discontents’ menyikapi bangkitnya populisme dan nasionalisme ekonomi sebagai antitesis demokrasi hari ini.

Fukuyama mengatakan, musuh liberalisme bukanlah ideologi tertentu atau peradaban tertentu, musuh liberalisme adalah bentuk ekstrem dari implementasi ideologinya sendiri. Dengan kata lain, ekstremisme dalam Orde Liberal inilah yang menyebabkan kemunduran atau pembusukan demokrasi (democratic decay) atau gejala de-demokratisasi.

Maka kita bisa melihat sosok-sosok pemimpin yang berani menantang Orde Liberal Barat adalah pemimpin hasil sistem otoriter seperti Vladimir Putin, Xi Jinping, Nicolas Maduro. Recep Tayyip Erdogan pemimpin Turki negara sekutu Barat pun perlu merekayasa konstitusi agar tetap memiliki posisi tawar di mata Amerika dan Eropa.

Modus operandi para menteri Jokowi dalam upaya mengubah konstitusi agar Jokowi bisa berkuasa tiga periode harus kita letakkan dalam gejala pembusukan demokrasi atau de-demokratisasi. Saat gerilya politik itu akhirnya mendapatkan perlawanan dari mahasiswa bulan puasa lalu, Jokowi mau tidak mau berupaya menciptakan legacy demokratiknya walaupun harus dalam bentuk pembangunan dinasti politik karena anak dan menantunya sudah menjadi kepala daerah, atau merebut kepemimpinan suatu partai politik.

Oligarki dan kartelisasi semacam ini mempercepat pembusukan demokrasi. Jika Indonesia pernah mengalami arus balik demokratisasi kedua saat militer mengambil alih kekuasaan pada 1966 dari Soekarno, kita sangat mungkin mengalami gelombang de-demokratisasi untuk ketiga kalinya.

Penutup

Negara tetangga kita, Filipina sedang memutar balik jarum jam sejarahnya. Ferdinand Marcos Jr. atau dikenal dengan Bongbong Marcos memenangkan pemilihan presiden mengalahkan tokoh oposisi Leni Obredo yang sebenarnya adalah Wakil Presiden petahana. Bongbong berduet dengan putri Presiden Duterte yang diperkirakan akan memenangkan pemilihan Wakil Presiden.

Anak diktator Filipina itu memenangkan pemilihan umum dengan cara sederhana, ia berkampanye tentang bagaimana Marcos senior sukses memajukan negara. Generasi muda Filipina terbuai dengan kampanye ini hingga mereka tidak memahami kekejaman rezim Marcos dan akhirnya mereka memilih Bongbong.

Kita pun bisa mengalami arus balik semacam itu. Ancaman pembusukan demokrasi muncul di depan mata. Tentu saja kita sebagai kaum terpelajar perlu mencerahkan diri untuk mengupas lebih dalam bagaimana fenomena ini berjalan. Persoalannya apakah orang-orang yang tercerahkan cukup kuat melawan gelombang pembusukan demokrasi, atau malah tersapu dan terbawa arus.

| Penulis adalah mahasiswa S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI).