Relief Misterius di Sarinah

Relief di Sarinah. Foto: Teguh Santosa/ RMOL.
Relief di Sarinah. Foto: Teguh Santosa/ RMOL.

AKHIRNYA kemarin saya berkesempatan singgah di Sarinah yang telah direnovasi. Banyak hal baru di Sarinah Baru. Layout lantai berubah luar biasa.

Pelataran parkir disulap jadi taman yang indah. Daya tampung mobil di bagian ini berkurang. Hanya untuk VVIP dan undangan khusus. Sebagai kompensasi, di sisi timur, di depan kafe Demang, dibangun gedung parkir.

Bagian yang juga bikin degdegan adalah relief misterius ini. Terbentang, memanjang, gagah, di bagian utama lantai satu.

Tiang pancang pusat perbelanjaan Sarinah dibenamkan Bung Karno di tahun 1963. Nama Sarinah dipilihnya sebagai bentuk penghormatan terhadap pengasuhnya di masa kecil, seorang wanita dari kalangan rakyat jelata.

Department store Sarinah, selain untuk menghormati Sarinah yang dimuliakannya juga dimaksudkan sebagai alat distribusi yang efektif di tengah masyarakat sosialis. Toserba pertama pasca kemerdekaan ini diharapkan Bung Karno menjadi alat perjuangan untuk mewujudkan amanat penderitaan rakyat.

Dalam bayangan Bung Karno, department store Sarinah ini juga berperan sebagai stabilisator harga. Kalau satu barang dijual di Sarinah seharga Rp 10, maka di luar dia tidak akan dijual dengan harga yang lebih tinggi. Kalau di Sarinah satu barang dijual dengan harga Rp 100, maka barang dengan jenis yang sama tidak akan dijual Rp 500 atau Rp 1.000 di luaran sana.

Toserba yang ketika diresmikan di tahun 1966 ini pastilah merupakan bangunan paling menonjol di Jln MH Thamrin, selain Hotel Indonesia, diharapkan dan dibayangkan Bung Karno menjadi alat untuk mewujudkan sosialisme Indonesia.

Tahun 1963 itu Bung Karno sedang berada di puncak kekuasaannya setelah berhasil menaklukkan berbagai kelompok kepentingan lewat Dekrit 5 Juli 1959. Tapi tahun itu juga sudah memperlihatkan tanda-tanda ke arah vivere pericoloso. Tahun 1962 Bung Karno memboikot Israel ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games. Komite Olimpiade Internasional geram. Indonesia diberikan kartu merah untuk tampil di Olimpiade Tokyo 1964.

Si Bung Besar tak peduli. Dia ajak negara-negara yang baru merdeka pasca Perang Dunia Kedua dan dekade dekolonisasi, New Emerging Forces atau Nefos, untuk menghadiri Ganefo, olimpiade tandingan.

Di bulan April 1965 Bung Karno menggelar peringatan 10 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) secara besar-besaran.

Dari film dokumenter yang masih dimiliki Korea Utara, kita bisa menyaksikan skala peringatan satu dasawarsa KAA yang megah itu. Rasanya jauh lebih megah dari pelaksanaan KAA 1955.

Sebulan setelah itu Jakarta merah. Peringatan ulang tahun ke-45 Partai Komunis Indonesia (PKI) digelar spektakular untuk masanya.

Yang rasanya Bung Karno tidak tahu, di balik semua itu, PKC yang berkuasa di China mulai mengirimkan senjata untuk dipergunakan kelompok pemuda dan petani pro PKI.

Maka, seperti kita sudah sama-sama baca, dalam berbagai kisah, Bung Karno terhenyak kaget saat kepadanya diperlihatkan senjata laras panjang Chung yang disembunyikan di lokasi latihan Pemuda Rakyat di kawasan Halim Perdanakusuma. Tak lama setelah enam jenderal dan seorang perwira muda TNI AD diculik oleh anasir pro PKI di tubuh militer.

Begitulah. Panggung ditataulang. Lakon baru dimainkan.

Tahun 1966 ketika Sarinah diresmikan, relief misterius yang menggambarkan kehidupan petani, kaum Marhaen, kaum jelata, ini ada di sana. Tapi di tahun 1980, ia menghilang atau dihilangkan.

Siapapun yang ingin menghapuskan bagian ini rasanya pun ragu-ragu dan setengah hati. Hanya tega menutupinya dengan tembok pemisah di bagian dalam Sarinah.

Tapi, cerita tentangnya sungguh tak pernah lagi terdengar sejak itu, bahkan tidak ada bisik-bisik tetangga.

Sampai ketika Sarinah direnovasi dua tahun lalu.

Relief ini disebut misterius karena sampai sekarang masih belum diketahui siapa pembuatnya.

Mungkinkah pematung dari Uni Soviet, Rusia kini? Mungkin. Mungkin juga dari negara lain di blok sosialis pada era itu.

Seorang teman beberapa waktu lalu meminta bantuan saya untuk menanyakan hal ini ke Kedubes Federasi Rusia.

Menjawab pertanyaan saya, Dubes Lyudmila Vorobieva menjawab, "I have no idea, but I will try to find out."

Pekan lalu saya bertemu dengannya di TMP Kalibata. Kami menghadiri peringatan ulang tahun Republik Bolivarian Venezuela.

Saya lupa menanyakan soal relief Sarinah ini.

Saya juga tak sempat bertanya "pesan" dari  Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy

untuk Presiden Rusia Vladimir Putin yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pertemuan dengan Putin di Moskow beberapa waktu lalu. Apakah pesan dengan “p” kecil, atau “P” besar.

Yang saya tanyakan antara lain adalah soal kemungkinan kehadiran Presiden Putin dalam KTT G20 bulan November nanti.

Untuk pertanyaan ini, Dubes Lyudmila Vorobieva menjawab dengan mengangkat kedua bahu diikuti mimik wajah yang khas. Artinya: tidak tahu. Atau: tergantung banyak hal. Atau: kita lihat saja nanti.

Dubes Lyudmila Vorobieva juga mengatakan, dua hari lagi dia dan suami akan terbang ke Moskow untuk liburan selama satu bulan.

Nah, nanti, selagi ia berada di Moskow, akan saya kirim pesan susulan. Siapa tahu Dubes Lyudmila Vorobieva bisa membantu memecahkan misteri relief Sarinah. 

| Penulis adalah ketua umum JMSI.