Revisi Qanun Jinayat, MPU Aceh Sebut Jangan Coba-coba Hilangkan Roh Syariat Islam

Ilustrasi. Foto: net
Ilustrasi. Foto: net

Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk. Faisal Ali alias Lem Faisal, tidak mempersalahkan persoalan revisi qanun (peraturan daerah) jinayat. Akan tetapi, kata dia, jangan sampai menghilangkan roh syariat Islam.


"Masalah revisi, karena untuk memberatkan terhadap pelaku kekerasan seksual atau permekosaan tidak ada larangan," kata Lem Faisal kepada Kantor Berita RMOLAceh, Selasa, 11 Januari 2022.

Lem Faisal menjelaskan, Aceh sudah mempunyai qanun tersendiri, jadi bentuk sanksinya jelas hukuman cambuk. Aturan itu tidak bisa dihilangkan sesuai dengan bingkai syariat Islam.

Tujuan hukum, kata dia, bukan untuk memunafikan. Tetapi untuk menjdi pembelajaran bagi pelaku kekerasan seksual.

"Bahwa hukum dalam Islam itu sangat adil, tapi jangan dilihat keadilan secara head to head," ujar Lem Faisal.

Menurut Lem Faisal, apabila qanun jinayat perlu direvisi silakan. Namun, aturan yang berlandaskan Islam jangan dihilangkan atau diabaikan.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Hendra Budian, mengatakan pihak legislatif setuju dua pasal dalam Qanun (peraturan daerah) Jinayat dihapus dan diganti dengan yang lebih kuat. Selama ini kata Hendra, dua pasal yakni 47 dan 50 sangat kontradiksi.

Meurut Hendra, pada 2021 dua kasus kekerasan seksual yang kemudian pelakukanya divonis bebas Mahkamah Syar'iyyah (MS) Aceh, memaksa DPR Aceh untuk melakukan penguatan terhadap Qanun jinayah itu sendiri dengan merevisi peraturan daerah tersebut.

"Aturan ataupun qanun dibuat untuk bisa memastikan perlindungan terhadap masyarakat. Jadi kita ingin melakukan penguatannya terhadap qanun jinayah ini agar bisa memastikan keadilan dan perlindungan hukum bagi masyarakat, wa bil khusus kekerasan terhadap anak," kata Hendra Budian di Banda Aceh, Senin, 18 Oktober 2021.

Hendra menyampaikan, angka kekerasan terhadap anak meningkat sangat signifikan di Aceh dengan jumlah yang sangat besar. Hal ini, kata Hendra, juga menjadi variabel selanjutnya bagi DPR Aceh untuk melakukan revisi atau penguatan terhadap qanun jinayah itu. 

"Sekarang proses sedang berjalan dan sudah terbentuk tim atau inisiator, agar ini akan menjadi qanun inisiatif dari anggota DPR Aceh yang berjumlah 13 orang yang nantinya akan disetujui di Badan Legislasi (Banleg)," ujar Hendra.

Politikus Partai Golkar ini menyebutkan, ada dua pasal dalam qanun jinayah yang dinilai kontradiksi dengan Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak. Dua pasal itu adalah, Pasal 47 dan Pasal 50.

"Jadi ternyata UU Perlindungan Anak itu lebih memberikan jaminan hukum bagi korban. Maka dua pasal ini kita drop dan bisa digunakan UU Perlindungan Anak, jadi lebih adil. Jadi kita setuju dicabut dan diganti dua pasal itu," sebutnya.

Sementara itu, anggota Komisi I DPR Aceh, Darwati A Gani, mengatakan terkait dengan perlindungan anak dan perempuam di Aceh merupakan tanggungjawab bersama. Sehingga kasus-kasus yanh serupa tak terjadi lagi dikemudian hari.

Darwati menyampaikan, setiap komisi-komisi DPR Aceh, diminta intuk mengusulkan satu Rancangan Qanun (Raqan) yang masuk dalam Program Legislasi Daerah (Proglegda) Prioritas 2022.  

"Jadi Komisi I mengusulkan Qanun Penyiaran. Saya sampaikan bagaimana caranya agar penguatan Qanun Jinayah itu bisa masuk ke dalam Qanun prioritas yang akan dibahas pada tahun 2022," kata Darwati.

Dalam prosesnya, untuk mengusulakan Qanun itu, Banleg menyarankan untuk diusulkan dalam usulan inisiatif anggota DPR Aceh. Sehingga untuk memenuhi syarat tersebut, mininal harus ada tujuh anggota DPRA yang meneken raqan tersebut.

"Alhamdulillah sudah terkumpul 13 orang yang menandatangani dan sudah mencukupi syaratnya yakni minimal 7 orang," ujarnya.

Politikus Partai Nanggroe Aceh (PNA) ini menyebutkan, saat ini hanya tinggal dilakukan pengawasan mulai dari tingkat Badan Legislasi, Badan Musyawarah DPR Aceh, hingga ke tingkat yang lebih tinggi.

"Dengan mencabut dua pasal tadi, sehingga ke depan kita berharap siapapun pelaku kekerasan seksual terhadap anak dihukum seberat-beratnya," kata Darwati.

Sementara itu, Komisi Pengawas dan Perlindungan Anak (KPPA) Aceh, Firdaus Nyak Idin, menyambut baik terkait rencana Dewan Perwakilan Rakyat Aceh merevisi Qanun Jinayat agar memiliki perspektif perlindungan anak. Apalagi, akhir-akhir ini kasus pelecehan seksual marak terjadi di Aceh.

Firdaus hakulyakin KPPAA dalam waktu dekat LBH Banda Aceh dan Kontras Aceh akan segera mengirimkan hasil kajian revisi Qanun Jinayat tersebut. Wacana ini disampaikan Komisi I DPR Aceh untuk memperkuat poin-poin dan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

"Intinya, revisi yang dilakukan adalah hanya revisi minor dan skala kecil. Hanya khusus untuk sekitar 6 pasal terkait kekerasan seksual terhadap Anak," kata Firdaus Nyak Idin di Banda Aceh, Sabtu, 19 Juni 2021. 

Menurut Firdaus, revisi beberapa poin dalam Qanun Jinayat itu tak akan mengurangi jumlah jarimah. Revisi juga tidak akan mengurangi peran Mahkamah Syar'iyah. 

Sebaliknya, hal ini akan memperkuat fungsi qanun dan peran MS dalam menangani dan mencegah kekerasan seksual terhadap anak. KPPAA, kata Firdaus, terlibat intens dalam kajian yang dilakukan LBH Banda Aceh dan Kontras Aceh. 

Firdaus mengatakan KPPAA berharap hasil kajian ini bisa segera direalisasi di DPRA dan diterapkan oleh aparat penegak hukum di semua tingkatan. Sehingga tak terjadi lagi dualisme hukum terkait perlindungan anak.

"Dengan demikian Aceh bisa lebih fokus membangun pemenuhan hak dan perlindungan anak yang lebih komprehensif dan progresif," ujarnya.

Menurut informasi yang kami terima, bahkan sebenarnya LBH Banda Aceh dan Kontras Aceh sudah sejak akhir tahun 2020 lalu telah mempersiapkan policy brief terkait revisi Qanun Jinayat.