Revisi UU Pemilu Jangan Berangus Partai Politik Lokal

Bendera partai politik di Aceh menjelang pemilihan umum. Foto: ist.
Bendera partai politik di Aceh menjelang pemilihan umum. Foto: ist.

Partai Demokrat meminta revisi Undang-Undang Pemilu ini tidak memberangus keberadaan partai lokal. Partai Demokrat menyatakan keberadaan partai lokal di Aceh harus tetap dipertahankan. 


“Itu merupakan hasil kesepakatan damai bersama antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang tertuang dalam MoU Helsinki,” kata Kepala Badan Komunikasi Strategis (Bakomstra) Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra dalam keterangan tertulis, Ahad, 17 Januari 2021. 

Karena itu, kata Mahendra, Partai Demokrat juga berkepentingan agar revisi UU Pemilu memenuhi prinsip-prinsip keadilan politik bagi Indonesia. Mahendra berharap partai politik lain, yang benar-benar pro demokrasi dan pro rakyat, sama-sama berusaha memperjuangkan penghapusan ambang batas presiden ini. 

Salah satunya, kata Mahendra, adalah penghapusan ambang batas parlemen. Partai Demokrat, kata Mahendra, menilai peningkatan ambang batas parlemen pun bisa memberangus keberagaman dan keterwakilan masyarakat di parlemen. 

Sosok potensial yang memiliki komitmen tegas dan jelas dalam memperbaiki kehidupan politik, memiliki ide-ide alternatif, sering kali tidak berhasil masuk ke parlemen karena partai politik mereka tak mampu memenuhi ambang batas parlemen yang terlalu tinggi. 

“Mesti diingat, masyarakat Indonesia ini sangat beragam. Unsur keberagaman dan keterwakilan ini seharusnya menjadi semangat utama dalam menentukan ambang batas parlemen,” kata Herzaky.

Partai Demokrat juga mengusulkan agar setiap parpol yang lolos ke parlemen memiliki hak untuk mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Dengan demikian, masyarakat akan memiliki lebih banyak pilihan calon pemimpin.

Mengentalnya polarisasi politik dan terbelahnya masyarakat Indonesia akibat pemilihan presiden yang hanya mencalonkan dua kandidat, pada Pilpres 2014 dan 2019, harusnya bisa dicegah pada 2024 dengan menghapuskan ambang batas parlemen. 

“Memang rekonsiliasi di tingkat elit sudah dilakukan. Tetapi luka mendalam di masyarakat, terutama kalangan akar rumput, terlanjur dalam dan sulit untuk dipulihkan,” kata Herzaky. 

Kondisi seperti ini, kata Herzaky, tidak sehat untuk demokrasi Indonesia. Bahkan dia menganggap pihak yang mempertahankan polarisasi dan keterbelahan masyarakat, dengan memaksakan kembali hanya ada dua capres di Pilpres 2024 demi kekuasaan semata, adalah sebuah kejahatan.

Peningkatan ambang batas parlemen, kata Herzaky, hanya akan membuat semakin banyak suara rakyat yang terbuang sia-sia. Merujuk pada Pileg 2014, jika ambang batas parlemen dinaikkan ke 5 persen saja, maka akan ada 19,8 juta suara yang terbuang sia-sia.

Jika ambang batas parlemen menjadi 7 persen, kata Herzaky, maka Partai Amanat Nasional yang memiliki 6,84 persen suara (9,5 juta suara) dan Partai Persatuan Pembangunan yang memiliki 4,52 persen suara (6,3 juta), tidak akan lolos. Berarti, akan ada 29 juta suara sah yang bakal terbuang atau menjadi wasted vote. Ini setara seperlima suara sah di tahun 2019.