Revisi UUPA Diharapkan Perbaiki Aturan Kelembagaan dan Kebijakan Aceh

Ilustrasi. Foto: ist.
Ilustrasi. Foto: ist.

Pengamat politik Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Pasha, menilai revisi Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) sangat penting dilakukan. Karena ada pasal-pasal yang tidak sesuai lagi dengan diharapkan.


“Seperti segi tata kelola kelembagaan maupun kewenangaan,” kata Kemal Pasha kepada Kantor Berita RMOLAceh, Rabu, 15 Maret 2023.

Kemal menjelaskan, banyak kewenangan Aceh mulai terputus. Misalnya terkait dana Otonomi Khusus (Otsus).

Kemal berharap, revisi UUPA dapat menyesuaikan dengan regulasi yang ada. Seperti penguatan kebijakan pemerintahan Aceh, serta ketentuan dalam UUPA.

Menurut Kemal, pasal UUPA yang harus direvisi terkait dana otsus, penguatan Wali Nanggroe Aceh, penguatan kampung dan lembaga penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), dan beberapa hal lainnya.

"Yang paling penting sebenarnya bagaimana UUPA itu bisa konvensional. Kemudian bisa jadi kesejahteraan bagi masyarakat Aceh," ujar Kemal.

Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Banleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Mawardi, menilai masih banyak pasal-pasal di dalam Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) tak sesuai dengan amanat Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Pihaknya akan merevisi pasal tersebut. 

"Tentu itu yang akan kita sisirkan pasal mana saja yang belum konsisten di dalamnya (MoU Helsinki)," kata Mawardi kepada Kantor Berita RMOLAceh, Selasa, 14 Maret 2023.   

Misalnya, kata Mawardi, tentang perintah MoU Helsinki yang tidak ada disebutkan di dalam UUPA. Seperti pembentukan tim independen untuk mengaudit hasil kekayaan alam Aceh yang dieksploitasi dan eksplorasi. 

Mawardi menyebutkan, di dalam UUPA tidak ada perintah tentang penyediaan lahan pekerjaan yang layak bagi bekas kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Hal ini berbeda dengan turunan Peraturan Pemerintah (PP).  

"Contohnya tentang pembatasan 12 mill dan 200 mill laut. Itu juga menjadi sebuah multitafsir antara Aceh dan Jakarta,” kata dia. “Karena di MoU Helsinki  juga tidak disebutkan ada batasan-batasan.”

Jika mengacu kepada UUPA , kata Mawardi, sangat tegas bahwa Aceh akan melaksanakan pemerintahan dalam semua sektor publik. Kecuali yang menjadi kewenangan mutlak, selebihnya menjadi kewenangan Aceh.

Namun, Mawardi sangat menyayangkan adanya pasal klausula di UUPA. Sebab kewenangan pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh tidak bisa dikombinasi.

Pasal klausula itu, kata dia, salah satunya tentang setiap kebijakan yang berlaku bersifat nasional, maupun pembentukan undang-undang yang merupakan kebijakan Aceh secara nasional. 

"Tentu ini harus mendapat konsolidasi dan persetujuan DPR Aceh dan persetujuan Gubernur Aceh,” sebut dia.

Menurut dia, hal itu tidak ditegaskan dalam UUPA. Untuk itu, kata dia, perlu dipertimbang dan dibuat konsolidasi. “Ini juga menjadi pasal yang sangat sakral,” ujar dia.

Sayangnya, kata dia, hingga kini pembagian hasil alam 70 banding 30 persen masih belum dilaksanakan. Dengan kata lain, pemerintah pusat tidak memberi kepastian kepada Aceh. 

Begitu juga dalam sistem pengelolaan minyak dan gas (Migas) Aceh, menurut Mawardi, masih multitafsir secara kontek UUPA. Sehingga UUPA banyak kelemahan ketika dihadapkan dengan persoalan nasional. 

"Misalnya tentang pengelolaan keuangan Aceh dan pemberian izin terhadap eksplorasi tambangan," sebut Mawardi.