Revisi UUPA Harus Kuatkan Kewenangan untuk Kesejahteraan Masyarakat Aceh

Pengamat politik Universitas Syiah Kuala, Effendi Hasan. Foto: ist.
Pengamat politik Universitas Syiah Kuala, Effendi Hasan. Foto: ist.

Pengamat politik Universitas Syiah Kuala, Effendi Hasan, mengatakan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) sudah selayaknya direvisi. Sebab ada beberapa pasal-pasal melemahkan kewenangan Aceh.


“Tapi dengan syarat, bukan melemahkan kewenangan Aceh yang telah diberikan selama ini,” kata Effendi Hasan kepada Kantor Berita RMOLAceh, Rabu, 15 Maret 2023.

Effendi menjelaskan, dalam undang-undang jelas disebutkan, segala kebijakan Aceh itu disesuaikan dengan frasa standar, norma dan prosedur sesuai UUPA. Bukan disesuaikan dengan undang-undang lain.

“Jadi perubahan itu tetap menguatkan kewenangan Aceh, dan tetap untuk kesejateraan masyarakat Aceh,” ujar Effendi.

Menurut Effendi, dalam proses revisi UUPA sesuai semangat yang terkandung dalam Momorandum of Understanding (MoU) Helsinki, 15 Agustus 2005. Karena UUPA selama ini, kata dia, belum berjalan efektif.

“Jadi perlu beberapa pasal UUPA itu disesuaikan dengan beberapa peristiwa tata kenegaraan dan perkembangan kebutuhan,” sebut Effendi.

Effendi mengatakan, secara tinjaun tim yuridis ada beberapa keputusan Mahkamah Kontistusi (MK) berdampak pada perubahan UUPA. Misalnya, putusan MK Nomor 35 tahun 2010 terkait calon perseorangan.

“Ini dulu dibatalkan. Kemudian diputuskan lagi melalui MK, harus diterapkan kembali,” kata dia.

Selanjutnya, kata Effendi, putusan MK Nomor 51 tahun 2016 tentang calon gubernur dan calon wakil gubernur. Di sana pernah disebutkan tentang kepala daerah yang melakukan kejahatan. “Itu juga terjadi perubahan,” sebut dia. 

Kemudian putusan MK yang terkait dengan penyelenggara pemilu Nomor 61 tahun 2017. Menurut Effendi, keputusan itu harus dikembalikan sesuai dengan UUPA.

Effendi menilai, ada pergeseran kewenangan terutama dalam Pasal 74 yang tidak mungkin dilaksanakan lagi. Sebab ada perubahan undang-undang dan pergeseran kewenangan di antara lembaga yang menjalankan kewenangan tersebut.

“Ini terjadi dengan penyelesaian sangketa hasil pemilihan,” kata dia. “Kalau di UUPA itu yang diselesaikan oleh MA, kemudian diahlikan kepada MK.”

Untuk itu, kata Effendi, perlu sesuatu yang mustahak dalam revisi UUPA. Karena banyak yang harus disesuaikan lagi. 

Effendi menyoroti perubahaan dalam praktik penyelenggaraan Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota. Misalnya istilah panitia, kata dia, juga harus sesuai dengan tata tertib dewan selama ini. 

“Dari istilah panitia kemudian dirubah menjadi badan, kalau tidak salah pasal 59 secara tartib,” sebut dia. 

Menurut Effendi, yang paling mustahak adalah kesejahteraan rakyat Aceh. Seperti Pasal 183 terkait Dana Otonomi Khusus (Otsus) sebesar 2 persen yang berakhir pada tahun ke-20. Dengan kata lain, akan berakhir pada tahun 2022.

“Nah, pada 2023 menjadi 1 persen,” kata dia. “Jadi saya pikir tidak adanya Dana Otsus itu akan menyulitkan melakukan program-program pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Aceh.”

Menurut Effendi, paling merasakan dampak dari kekurangan Dana Otsus ialah pemerintah kabupaten/kota. Sehingga tersendat beberapa pembangunan.

“Saya pikir terkait pasal ini harus juga disesuaikan atau perlu di ubah menjadi 2,5 persen seperti Papua,” ujar Effendi.

Effendi menilai, otonomi Aceh selama ini direduksi dan diintervensi untuk dilemahkan pemerintah pusar. Misalnya, ada pengunaan frasa berdasarkan penyeburan. “Ada frasa norma, standar dan prosedur. Itu Pasal 11 ayat 1,” sebut Effendi.

Dengan adanya tersebut, kata dia, diikat dalam UUPA. Menurut Effendi, tidak ada norma seperti itu, sehingga terdistorsi kekhususan Aceh. “Jadi saya pikir juga perlu diperketat di situ,” kata dia. 

Effendi berharap, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh terus menyerapkan aspirasi berbagai kalangan. Supaya perubahan UUPA akan menjadi tanggung jawab semuanya elemen. “Semua elemen dilibatkan, walaupun tidak masuk dalam panitia,” ujar Effendi.