Rezim Islamophobia


REKTOR Institut Teknologi Kalimantan, Budi Santoso, menghina perempuan di akun medsosnya. Dia juga menghina Islam. Menurutnya, perempuan berjilbab merupakan perempuan gurun yang tidak mempunyai nilai universal. Dia juga mengekspresikan sangat beruntung melihat penerima beasiswa negara LPDP, dalam seleksi yang diikutinya, tidak ada mengenakan jilbab. 

Budi adalah salah satu nama yang tercatat dalam kelompok Gerakan Anti Radikalisme (GAR)-ITB. Ini adalah kelompok bersemangat rasis dan Islamophobia. Kelompok ini memfitnah Din Syamsuddin beberapa waktu lalu. Pernyataan Budi soal jilbab dan gurun juga jadi perhatian publik.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo memang terlibat dalam semangat Islamophobia. Menteri Jokowi melarang pegawai negeri perempuan mengenakan. Yang lelaki dilarang mengenakan celana cingkrang. Hal ini membentuk opini terstruktur dalam lingkungan kekuasaan bahwa Islam dalam simbolistik budaya tertentu perlu disingkirkan. 

Padahal jilbab adalah simbol perlindungan perempuan dalam Islam, baik mereka yang banyak beraktivitas di luar rumah atau perempuan yang ditinggal suami/orang tua bekerja. Lewat jilbab, mereka mendapatkan simbol kesalehan yang memproteksi mereka dari interaksi sosial yang berpotensi melewati batas, misalnya ketika bertemu lelaki bukan muhrim ketika suami/orangtuanya tidak melihatnya. 

Konsep ini selain melindungi dan mendorong emansipasi perempuan Indonesia, tentu juga memberikan proteksi pada keluarga, sebagai institusi sosial yang paling penting dalam masyarakat. 

Budi juga mengkritik tentang budaya bersalaman. Padahal bersalam-salaman, dalam Islam, adalah bagian interaksi sosial yang tidak sepenuhnya universal. Penghormatan antara dosen dan mahasiswi dalam sebuah interaksi memang perlu dilakukan. Tapi penghormatan dan kesopanan bukan berarti harus dengan salaman dan jabat tangan. 

Di Arab, saat dua pria bertemu, maka mereka saling mencium pipi. Di Eskimo, mereka saling beradu hidung. Di Jepang mereka beradu lama menundukkan kepala. Di Indonesia dua telapak tangan disatukan dekat ke dada. 

Dan banyak cara lainnya. Di Belanda, antarlawan jenis, misalnya, selain bersalaman kita harus cium pipi sebanyak 3 kali. Kepada kaum homoseks, kita menepuk beberapa kali punggung belakangnya sebagai penanda bahwa kita bukan gay. 

Jadi klaim universal itu tidaklah mutlak. Substansinya yang teramat penting adalah saling respek. Saat dosen berhadapan dengan mahasiswa, bagi dosen pemaham ortodoks atau konservatif atau gila hormat, setidaknya mahasiswa memberikan hormat dengan cara yang nyaman untuk dilakukan.

Mahfud MD, beberapa hari lalu, mengangkat isu keterbelahan atau perpecahan di Indonesia yang begitu dalam. Ini adalah akibat semangat antiislam atau Islamophobia yang dikembangkan rezim Jokowi. 

Selama delapan tahun ini saya melawan pemerintahan Jokowi dan sudah masuk penjara karena itu. Namun, saat ini situasi semakin kompleks. Ketidakpuasan rakyat sudah meluas dengan spektrum ekonomi yang parah. 

Mungkin ledakan sosial akibat persoalan konflik identitas dan struktural ini terjadi habis lebaran. Ketika uang habis dipakai mudik. Ketika kerjaan tidak ada. Ketika biaya-biaya kebutuhan pokok, BBM dan pendidikan anak tidak terjangkau lagi. Semua akan menjadi pemicu.

Persoalannya, adalah apakah rezim ini punya jalan keluar? Mungkin Jokowi akan melakukan reshuffle kabinet Juni? Tapi apakah itu sebuah jalan yang berarti?

Lieus Sungkarisma mengeluarkan isu rekonsiliasi nasional pemerintah dan oposisi. Andi Arif, Ketua Bappilu Partai Demokrat, mendorong dialog besar yang melibatkan juga tokoh oposisi. Namun isu utama yang harus diselesaikan, menurut saya, adalah Islamophobia. 

Seiring dengan Perserikatan Bangsa-bangsa mengeluarkan resolusi anti-Islamophia, Indonesia harus masuk pada arus besar itu. Apalagi warga negara ini, sekitar 80 persen, beragama Islam. Kenapa kita justru membuat arus yang berlawanan? 

| Penulis adalah anggota Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).