Rumoh Transparansi: AKP asal Aceh Masih Diperbudak di Kapal Asing

Awak Kapal Perikanan asal Indonesia. Foto: Ilustrasi/KKP.
Awak Kapal Perikanan asal Indonesia. Foto: Ilustrasi/KKP.

Direktur Rumoh Transparansi, Crisna Akbar, mengatakan lembaganya masih menemukan praktik perbudakan terhadap Awak Kapal Perikanan (AKP) asal Aceh yang bekerja pada kapal asing. Perbudakan itu terjadi, karena proses rekrutmen tak sesuai aturan dan perlindungan lemah.


Crisna menjelaskan, temuan itu berdasarkan kajian terhadap standarisasi pengawasan ketenagakerjaan dan pelayanan pengurusan dokumen serta perizinan bagi pekerja migran AKP. Studi kasusnya dilakukan di Aceh dan Sumatera Utara, sebagai pembanding.

“Masalah yang dihadapi oleh pekerja migran sangat kompleks, mulai dari sebelum berangkat hingga setelah selesai kontrak,” kata Crisna, dalam diseminasi hasil kajian, kemarin.

Crisna menyebutkan, sebelum berangkat atau rekrutmen mereka kerap menjadi objek yang dimanfaatkan oleh kaki tangan perusahaan penyalur atau agency. Kaki tangan agen diduga menerima sejumlah uang dari perusahaan untuk membujuk calon pekerja migran.

Tidak tertutup kemungkinan, kata dia, dokumen yang diperoleh pekerja migran tidak lengkap. Sementara saat telah bekerja, AKP diberlakukan tidak manusiawi. Seperti mengalami pemukulan, bekerja melebihi waktu kesepakatan, dan upah ditahan.

“Ada yang meninggal di atas kapal, namun jenazahnya dilarung ke laut,” sebut Crisna.

Crisna mengatakan pada 2019 terjadi peristiwa pelarungan jenazah AKP yang berasal dari Pidie.   Jenazah tersebut dilarungkan di tengah laut wilayah perairan Chili. Diduga kapal tersebut adalah kapal perikanan asing yang bernama FV Wei Yu 18.

“Tidak sampai di sana, hak korban seperti asuransi dan upah tidak dibayar lunas,” kata Crisna. “Kasus ini mengindikasikan bahwa adanya perbudakan yang dirasakan oleh para AKP asal Aceh yang bekerja di kapal asing”.

Selain itu, kata Crisna, ada temuan penting dari kajian tersebut. Hal itu disebabkan karena lemahnya koordinasi antar instansi atau lembaga pemerintah yang menangani pelayanan perizinan dan pengawasan.

Crisna menyebutkan, bahkan lembaga atau instansi terkait tidak memiliki data jumlah pekerja migran AKP asal Aceh. Padahal para pekerja migran mengurus dokumen kepada instansi terkait. Seperti kantor imigrasi dan kantor syahbandar.

Crisna mengatakan tujuan kajian itu dilakukan untuk memperlihatkan ke publik realita yang dialami oleh para pekerja migran AKP dan untuk mendorong penguatan perlindungan.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) SBMI, Bobi Anwar Ma’arif, mengatakan perlu adanya upaya perlindungan yang kuat terhadap pekerja migran, salah satu dengan regulasi tingkat daerah atau qanun. “Perbudakan terhadap AKP bentuk pelanggaran hak asasi manusia,” ujar Bobi.

Menurut Bobi, semua pihak harus memberikan atensi untuk memperkuat perlindungan terhadap pekerja migran.