RUU EBT Dinilai Mengaburkan Rencana Transisi Energi Indonesia

Ilustrasi RUU EBT. Foto: net.
Ilustrasi RUU EBT. Foto: net.

Peneliti pada Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbaharukan (EBT) yang saat ini sedang dibahas di DPR tampaknya justru mengaburkan rencana transisi energi Indonesia. Menurut Salamuddin, RUU EBT sepertinya mengikuti pola yang digunakan selama ini dalam menjalankan mega proyek 35 ribu Megawatt yang telah terbukti gagal. 


"Pola semacam ini menganut prinsip liberalisasi ketenagalistrikan, menghilangkan fungsi negara dan melemahkan PLN dan memperkaya oligarki listrik," ujar Salamuddin Daeng dalam keterangan tertulis kepada Kantor Berita RMOLAceh, Kamis 13 Oktober 2022.

Salamuddin mengatakan, seharusnya negara dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berada di depan menyukseskan transisi energi sesuai dengan UU Nomor 16 Tahun 2016 tanggal 24 Oktober 2016, tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim). 

"Lalu mengapa negara dan BUMN malah hendak dihilangkan perannya," ujar Salamuddin Daeng.

Mantan aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) ini menilai setidaknya ada tiga pasal dalam RUU EBT yang berpotensi mengaburkan rencana transisi energi Indoensia yakni pasal 29 A, pasal 47 A dan Pasal 60. 

Pasal-pasal tersebut secara garis besar berisi sejumlah hal, pertama, memberikan kewenangan penuh kepada swasta untuk membuat pembangkit EBT, berbisnis jaringan dan menjual listrik EBT-nya sendiri kepada masyarakat, perusahaan dan lainya. 

Kedua, memberikan kewenangan penuh kepada sektor swasta untuk pemanfaatan jaringan listrik PLN melalui mekanisme pemanfaatan bersama jaringan PLN. PLN wajib membuka akses kepada swasta untuk memanfaatkan jaringan PLN. 

Ketiga, dengan memanfaatkan jaringan PLN tersebut pembangkit swasta dapat menjual listrik EBT secara langsung kepada konsumen individu atau perusahaan. Ketiga hal itu memang terasa ganjal jika dikaitkan dengan pernyataan Menteri BUMN bahwa PLN akan fokus ke binis jaringan. 

"Dengan UU EBT jaringanpun disikat sektor swasta. Lalu negara dan PLN dapat apa," kata pria kelahiran Taliwang Sumbawa, Nusantara Tenggara Barat (NTB) ini.

Menurut Salamuddin, RUU EBT sama dengan melanggengkan liberalisasi ketenagalistrikan dengan menyerahkan potensi sumber daya EBT Indonesia kepada sektor swasta, dengan berbagai insentif dan fasilitas dari pemerintah.  

"DPR dan Pemerintah tidak mau belajar dari mega proyek 35 ribu megawatt yang sangat memanjakan oligarki swasta. Akhirnya ambyar kan?," ujarnya.

Bahkan kata Salamuddin, agar liberalisasi UU EBT dengan sembarangan membuat satu pasal yakni pasal 60 bahwa UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan tidak berlaku sepanjang itu adalah EBT. 

"Ini luar biasa bandar EBT Indonesia. Mereka mau menghasilkan portofolio EBT agar mendapatkan uang internasional dengan menabrak UU ketenagalistrikan," ujar Salamuddin.

Padahal kata Salamuddin, RUU EBT merupakan salah satu regulasi kunci bagi ketahanan energi, pertahanan dan keamanan negara Indonesia ke depan. Apalagi dunia telah melakukan pelarangan pembatasan dalam seluruh lini bagi konsumsi energi fosil. 

Instrumen pembatasan meliputi pajak karbon, pembatasan perdagangan dan pelarangan sektor keuangan dan perbankan untuk membiayai energi fosil. Dengan demikian energi terbaharukan akan menjadi energi utama di masa depan. 

"Jadi hati hatilah transisi energi adalah isue utama bagi ketahanan nasional," ujar Salamuddin mengingatkan.