Salah Paham

Ilustrasi. Foto: ist.
Ilustrasi. Foto: ist.

SALAH Paham Pertama: Ada yang berpendapat akan lahir rezim otoriter/rezim militer lagi, seperti era Soekarno atau era Soeharto.

Di Pasal mana UUD '45 yang memberi hak istimewa militer bisa berkuasa? Apalagi militer sekarang sudah diatur dengan UU No 34/ 2004.

Dulu informasi tertutup dan terbatas, sehingga kekuasaan bisa mengatur sesukanya karena mereka mendominasi Informasi. Sekarang era serbaterbuka, mana bisa sembarangan mengatur kekuasaan suka-suka atau berdasar selera. Rezim sekarang di-bully setiap mengeluarkan kebijakan suka-suka karena rakyat sekarang melek informasi.

Sekarang militer sulit mendominasi praktik politik seperti di era Orde Baru setelah kekaryaan organik dan nonorganik dihapus dalam pengisian jabatan politik, pemerintahan, dan administrasi.

Kalau soal otoriter apakah rezim sekarang yang menggunakan UUD 2002

tidak kurang otoriternya?

Salah Paham Kedua: Banyak yang tidak tahu sehingga salah paham bahwa kami para pejuang kembali ke UUD '45 mensyaratkan sebelum kembali harus ada kesepakatan bahwa saat kembali harus diadendum pasal tentang masa jabatan presiden.

Masa jabatan presiden langsung ditegaskan hanya boleh maksimal 2 x 5 tahun alias dua periode. Makanya kami introdusir istilah Kembali ke UUD '45 Untuk Disempurnakan.

Salah Paham Ketiga: Bahwa ada yang berpikir bila kembali ke UUD '45 maka Jokowi bisa berkuasa terus dan bisa memperpanjang masa jabatan sesukanya seperti era Soeharto.

Yang perlu ditegaskan ketika Kembali ke UUD '45, yang berkuasa di saat peralihan itu langsung MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi negara penjelmaaan rakyat. Kendali kekuasaan kira-kira seperti era peralihan kekuasan dari Soekarno ke Soeharto, di mana MPRS saat itu dipimpin Jenderal AH Nasution sangat berkuasa hingga bisa memberhentikan Presiden Soekarno dan melantik Presiden Soeharto.

Jadi peran Presiden Jokowi saat peralihan itu (bila UUD '45 berlaku saat Jokowi sedang berkuasa) langsung tunduk pada MPR RI.

MPR saat itu langsung mengurus pengisian anggota Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Mungkin memerintahkan Presiden melakukan Pemilu Legislatif untuk mendapatkan anggota DPR baru.

Tentu UU Pemilu diperbaiki dan rakyat bebas membuat partai baru dll seperti era peralihan dari Orba ke era Reformasi. Jadi tak ada cerita UUD '45 akan digunakan Jokowi untuk perpanjang masa jabatan. 

Salah Paham Keempat: Cara berkuasa Soekarno dan Soeharto selalu jadi contoh keburukan UUD '45.

Pertanyaannya apakah Soekarno saat itu benar telah menjalankan UUD '45 sesuai semangat dan teks UUD '45? Bukankah Soekarno menjalankan kekuasaan menurut seleranya yang ingin menerapkan Demokrasi Terpimpin karena itu mendapat kritik dari Bung Hatta dan Liga Demokrasi?

Adakah dalam teks UUD45 bahwa Ketua Mahkamah Agung dan Ketua MPRS boleh merangkap sebagai Menteri, dan itu dilakukan oleh Soekarno?

Apakah Soeharto saat itu menjalankan UUD 45 sesuai teks dan jiwa UUD45?

Adakah dalam teks UUD45 yang menyebutkan ABRI boleh mengisi jabatan eksekutif, legislatif dan yudikatif ?

Bukankah Petisi 50 dan Gerakan Mahasiswa 77/78 menuduh Soeharto menyimpang dari UUD '45?

Apakah bisa kesalahan atau dosa penguasa, dilimpahkan kepada sistem UUD '45 yang sama sekali tidak dilaksanakan, dan kalaupun dilaksanakan hanya covernya saja, bukan substansinya?

Jadi era Soekarno dan Era Soeharto itu bukan wujud dari pelaksanaan UUD '45 secara murni dan konsekuen. Hanya sebagai slogan politik saja. Justru menjadi tugas generasi muda kini untuk mengimplementasikan semangat dan teks UUD '45 18 Agustus 1945 atau UUD Proklamasi.

Salah Paham Kelima: Dalam Sistem UUD 1945 tidak terjadi check dan balances.

Lha dengan sistem UUD 2002 ini memangnya terjadi check and balances? Toh bisa diselewengkan misalnya dengan Perppu 1/2020 menjadi UU/2020 hak budget DPR disunat sehingga DPR menjadi bebek pilek.

Belum lagi lewat tekanan ke Pimpinan Partai (karena sebagian ketumnya tersandera kasus) suka tidak suka membentuk koalisi gemuk. Lalu check and balances yang dibanggakan itu di mana?

Refly Harun menganggap bahwa UUD '45 itu otoriter karena tak ada check and balances dan telah terbukti 2 Presiden bisa dijatuhkan oleh MPR RI.

Lha terhadap Presiden yang diduga telah melakukan pelanggaran UUD '45 lalu diproses, lalu terbukti bersalah kemudian dihukum dan diberhentikan oleh MPR RI apakah salah dan tak boleh? Bukankah kekuasaan itu ada sistem reward and punishment?

Pembela UUD 2002 selalu membanggakan check and balances dalam kekuasaan. Karena check and balances itu berdasarkan hukum permintaan dan penawaran yang dalam ekonomi disebut persaingan bebas. Persaingan yang akan membentuk keseimbangan. Padahal faktanya persaingan itu melahirkan dominasi, bukan keseimbangan.

Saya kutip pernyataan Salamuddin Daeng:  

"UUD Amandemen itu memang berdasar prinsip check and balance. Atas dasar itulah membagi cabang cabang kekuasaan secara setara satu dengan lainnya. Masing masing cabang kekuasaan dlm prakteknya memperjuangkan kepentingan sendiri sendiri, berusaha memperbesar kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan agar tidak diambil yang lain. Terjadi pertarungan internal. Dalam rangka apa? Dalam rangka kekuasaan semata. Kekuasaan mengabdi pada siapa ? Ya pada pribadi, keluarga dan golongan semata."

Perhatikan perilaku kekuasaan dan aktor kekuasaan era reformasi. Ribut demi negara atau ribut demi diri dan kelompoknya ?

Salah Paham Keenam: Pilpres lewat MPR RI itu lebih murah biaya nyogoknya.

Lha penyogokan rakyat secara massif dalam sistem Pilpres langsung jauh lebih luas dan massif daya rusaknya terhadap mental dan moral rakyat. Kerusakan moral dan mental di Senayan terbatas pada elitenya. Tetapi untuk Pilpres via MPR bisa dilakukan pencegahan.

Saya telah menulis soal ini secara rinci dengan judul "Kebaikan Pilpres Langsung lewat Sistem Perwakilan Musyawarah di MPR"

Salah Paham Ketujuh: Pemilihan lewat MPR itu tidak demokratis karena rakyat luas tidak terlibat.

Coba lihat data hasil Pilpres langsung ini:

Pilpres 2014

Jokowi 37,30 persen

Prabowo 32,88 persen

Golput dll 29,81 persen

Pilpres 2019

Jokowi 42,80 persen

Prabowo 34,32 persen

Golput dll 22,86 persen

Kalau pakai rumus menang secara demokratis kan harusnya 50+1. Nyatanya Jokowi menang 2 kali masing-masing 37,30 persen dan 42,80 persen. Dua kali menang suaranya di bawah 50 persen pemilih.

Artinya mengacu ke rumus menang secara demokratis tidak tercapai, sehingga kami menyebutnya ini hasil legal tapi tidak legitimatif.

Apa bedanya dengan Pilpres sistem Perwakilan dan Musyawarah di MPR RI yang dianggap kurang demokratis namun hasilnya bisa terpilih Presiden yang lbh berkualitas karena ada faktor utusan golongan yang bisa jadi "penyaring capres"?

Bukankah demokrasi itu cuma alat? Bukankah demokrasi ala Pancasila sila keempat itu bagus dan musyawarah itu sesuai tradisi bangsa kita?

| Penulis adalah bekas anggota DPR RI.