Sambai Oen Peugaga, Warisan Leluhur Kaya Khasiat 

Sepiring oen peugaga, sajian khas Aceh, yang digemari untuk berbuka puasa. Foto: Irfan Habibi.
Sepiring oen peugaga, sajian khas Aceh, yang digemari untuk berbuka puasa. Foto: Irfan Habibi.

Selain budaya, Aceh juga dikenal dengan kekayaan kuliner khas yang nikmat. Sebagian besar hidangan tidak hanya nikmat di lidah, namun juga menyehatkan. 


Satu di antaranya adalah oen kaye sambal. Hidangan ini juga dikenal dengan sebutan oen peugaga alias daun peugaga. Saat Ramadan, jajanan ini banyak dijual karena dicari untuk hidangan berbuka puasa. 

Masyitah, penjual oen peugaga, mengatakan masakan ini diracik dengan 44 macam dedaunan. Sajian khas masyarakat Aceh ini merupakan warisan nenek moyang Ureueng Aceh sejak beberapa abad silam.

Sejumlah daun lainnya, ialah campuran dari tanaman kebun dan persawahan yang diaduk dalam irisan tipis menyerupai benang-benang halus.

“Sudah lima tahun membuat oen peugaga. Kalau ibu sudah sejak 30 tahun lalu sudah berjualan ini,” kata Maisyitah di Aceh Selatan, Rabu, 5 Mei 2021. 

Maisyitah mengatakan selain rasanya yang khas dan unik, oen peugaga juga diyakini berkhasiat mengatasi banyak penyakit. Sebut saja yang populer, seperti diabetes dan kolesterol. 

“Bahkan, seperti yang diceritakan secara turun temurun, memakan oen peugaga dapat menambah daya ingat,” kata Masyitah.

Di samping itu, kata Maisyitah, menurut kepercayaan masyarakat desa, menyantap sambal oen peugaga saat berbuka puasa dapat menjadikan saksi bahwa seseorang pernah berpuasa saat di akhirat kelak.

Maisyitah mengatakan penjual oen peugaga sulit dicari di luar Ramadan. Makanan ini hanya akan dijumpai ketika Ramadhan. 

“Itupun hanya beberapa daerah yang ada, bahkan ada di daerah di Aceh tidak ada lagi,” kata Maisyitah.

Maisyitah menyebutkan dedaunan selain bahan baku utama. Di antaranya, oen si geuntot, oen jambe (daun jambu), oen mamplam (daun mangga), oen kruet (daun jeruk purut), oen kunyet (daun kunyit), oen gulima (daun jambu kelutuk atau guava) dan lainnya. 

Dalam mercampur sejumlah dedaunan itu, kata Maisytah, daun-daun yang memiliki rasa pahit tidak boleh dimasukkan ke dalam racaikan. 

Walaupun menetap di perdesaan, Maisyitah mengaku kesulitan memperoleh sebagian bahan baku sambal oen peugaga. Untuk mendapati bahan-bahan tersebut, tak jarang dia berkeliling sawah bahkan mendaki gunung.

Maisyitah mengatakan untuk dijual, setelah dicincang halus, oen peugaga dicampuri setengah jam sebelum dijual. Hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan rasa gurih dan wangi dari daun-daun.

“Makanan kuliner warisan indatu ini berbagai orang. Pembelinya dari berbagai usia, ada orang tua ada juga kaum anak muda," kata Maisyitah. 

Kini, kata Maisyitah, penjual oen peugaga, satu per satu tidak lagi berjualan dikarenakan faktor usia. 

Masyitah harus menempuh jarak jauh untuk menjual oen peugaga dengan berjalan kaki ke pusat keramaian. Oen peugaga ini dibungkus dengan daun pisang dan dijual seharga Rp 2.000 hingga Rp 5.000 per bungkus.