Sampah Banda Aceh dan Aceh Besar, Tanggung Jawab Siapa?

Ilustrasi: Freepik.
Ilustrasi: Freepik.

WILAYAH administratif (geo-administrative) memberikan pengaruh terhadap pengelolaan sampah kota. Hal ini terjadi pada pengelolaan sampah di Banda Aceh dimana kota ini berbatasan dan dikelilingi oleh Kabupaten Aceh Besar. Dua daerah yang berdekatan dimana penduduknya memiliki mobilitas yang tinggi melintasi kedua wilayah.

Pergerakan penduduk juga diikuti oleh timbulan sampah yang diproduksi penduduk dua daerah tersebut dimana hal ini diperparah dengan adanya gap pengelolaan sampah antara keduanya. Kota Banda Aceh lebih baik dalam pengelolaan sampah dibanding dengan Aceh Besar hal ini dibuktikan Banda Aceh dengan meraih sembilan kali Adipura. Penduduk yang tinggal di sekitar perbatasan membuang sampah pada Tempat Pembuangan Sementara (TPS) illegal sehingga menimbulkan dampak negatif.

Sampah yang bertumpuk di perbatasan, baik yang masuk Banda Aceh maupun Aceh Besar menjadi kurang terurus. TPS illegal ini, karena sifatnya illegal maka sering diabaikan oleh pemerintah setempat. Sampah yang berada di perbatasan walau berada dalam wilayah Aceh Besar namun secara teknis lebih dekat dengan sistem pengangkutan sampah kota Banda Aceh. Muncul saling curiga antara kedua daerah bahwa sampah-sampah tersebut berasal dari penduduk daerah sebaliknya.

Contoh kasus untuk hal ini dapat dilihat pada daerah Ajun atau Lhoong Raya yang masuk dalam wilayah administrasi Aceh Besar, berbatasan dengan Banda Aceh tetapi lebih dekat dengan sistem transportasi sampah Banda Aceh. Sampah sering menumpuk dipinggir jalan raya dan tidak dikelola dengan baik. Pemerintah Aceh Besar kewalahan mengangkut sampah tersebut karena jauh dengan sistem transportasi sampah mereka sementara pengelola sampah Banda Aceh tidak mau mengangkut sampah tersebut.  

Masyarakat awam tidak paham TPS illegal ini tanggung jawab siapa apalagi sampah tersebut sudah berserakan di pinggir jalan tidak terurus selama bertahun-tahun. Banda Aceh dan Aceh Besar merupakan contoh nyata belum adanya kerjasama penanganan sampah sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen persampahan yang baik. Penduduk di perbatasan menderita menerima efek negative dari tumpuan sampah karena berbeda wilayah administrasi maka mereka tidak terlayani dengan baik. 

Posisi daerah Aceh Besar dan Banda Aceh sangat unik, dimana luas Aceh Besar jauh lebih besar dan mengelilingi kota Banda Aceh. Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar memiliki Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) milik keduanya yaitu TPA Regional Blang Bintang. TPA ini dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar terletak sangat jauh dari pemukiman penduduk dan berada di bekas areal Hutan Tanaman Industri yang sudah dipinjam-pakaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan Indonesia kepada Pemerintah Aceh.

Sementara lokasi TPA milik Pemerintah Kota Banda Aceh berdekatan dengan pemukiman penduduk, dalam radius + 3 km dari pusat kota dan luas kota Banda Aceh sendiri pun relative kecil. Kalau dilihat dari segi jangkauan pengangkutan sampah maka Banda Aceh jauh lebih mudah dibandingkan Aceh Besar. TPA milik Pemerintah Aceh ini diperuntukkan sebagai TPA Regional yang nantinya juga menerima sampah dari masyarakat Banda Aceh. TPA Regional ini rencananya aktif beroperasi 100 persen pada tahun 2018.

TPA Regional Blang Bintang bisa menjalani solusi penanganan sampah bersama antar daerah tapi sampai sekarang operasionalnya belum berjalan lancar.  Dalam UU Persampahan  No. 18 tahun 2008, sebenarnya telah disebutkan bahwa daerah-daerah dapat bekerja sama dalam pengelolaan sampah. Kalau masing-masing daerah mengandalkan TPA sendiri maka akan terkendala dengan biaya operasional dan lahan yang semakin sulit dicari.

Setiap daerah bisa bergerak melakukan satu sistem pengelolaan sampah yang nantinya bergerak bersama menuju satu manajemen persampahan di TPA regional. Wilayah administrasi berdampak dalam pengelolaan sampah di Aceh apalagi tiap daerah saling berkaitan dalam mobilitas penduduknya. Banda Aceh dan Aceh Besar wilayah yang bersisian, yang satu lahannya semakin kecil sementara yang satu lagi lahannya masih luas.

Sebaiknya ada pengelolaan bersama antara kota dan kabupaten disekitarnya agar bisa lebih fokus dan lebih terjamin kebersamaannya dalam mengelola sampah. Sekarang daerah sekitar perbatasan Banda Aceh dan Aceh Besar menjadi wilayah abu-abu, seolah-olah tak ada yang mengelola sampah. Adanya TPA Regional tentu lebih baik bagi daerah yang bersisian atau berbatasan.

Harus ada Memorandum of Understanding (MoU)  antara wilayah yang bersisian dimana pembagian kewenangan nantinya sesuai dengan kesepakatan bersama. Misalnya Banda Aceh dan Aceh Besar untuk daerah perbatasannya bisa ditempatkan kontainer bersama sehingga bisa dimanfaatkan oleh warga dua wilayah tersebut. Daerah perbatasan pun dapat menjadi bersih karena pengelolaan sampahnya lebih bagus.

Apalagi Aceh Besar menjadi pintu masuk ke kota Banda Aceh sehingga jika ada sampah yang berserakan sangat merusak citra kota Banda Aceh. Idealnya bentuk kerjasama harus dibuat detail, jangan sampai MoU hanya sekedar memindahkan sampah ke TPA tetapi ada konsep pengelolaan sampah sementara sebelum dibuang TPA. MoU ini kemudian disosialisasikan kepada masyarakat kedua daerah. Jika memungkinkan dibuat aturan hingga tingkat desa (reusam) dan memberikan sarana penunjang pengelolaan sampah dari kedua otoritas daerah. 

Konsep kerjasama sudah diatur dalam UU Persampahan No.18 tahun 2008 dimana pihak propinsi memfasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota dengan membentuk TPA regional. Kerja sama ini dibentuk untuk penanganan akhir sampah dikarenakan lahan yang semakin terbatas dan mahal sehingga pemerintah pusat mendorong dibentuknya TPA regional. Namun realitas di lapangan bisa berbeda. Adapun badan pengelolanya dapat memilih dari opsi seperti apakah berbentuk BUMD, Badan Layanan Umum atau bekerjasama dengan korporasi swasta.  

Sebagai contoh TPA Regional Sarbagita di Bali yang melayani area Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan berjalan tidak seperti yang diharapkan. Salah satu persoalan di Sarbagita adalah jarak kota-kotanya berjauhan sehingga menjadi tantangan dalam pembiayaan operasional truk. Selain itu ada persoalan kewenangan pengelolaan TPA regional yang belum bisa diselesaikan dengan baik. Sementara TPA Regional Kertamantul di Yogyakarta dapat berjalan dengan baik.

Kalau di Kertamantul kota-kota yang masuk dalam pelayanan lebih dekat jaraknya dan manajemennya sudah bagus. Dalam hal manajemen, di Kertamantul dilakukan pergiliran kepengurusan TPA regional antar kabupaten/kota yang bergabung di dalamnya, tidak hanya dikelola oleh propinsi semata.

Setelah TPA Regional Blang Bintang diserahterimakan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Aceh melalui Dinas Cipta Karya Aceh pada Desember 2014, barulah pada tahun 2017 TPA ini beroperasi walau tidak full. Sekarang telah ditandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara tiga pihak yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar dan Propinsi Aceh. Biaya operasional TPA Regional Blang Bintang selama setahun dihitung kemudian dibagi dengan jumlah tonase sampah yang dibuang ke TPA (200 ton untuk Banda Aceh dan 60 ton untuk Aceh Besar) sehingga didapatlah angka Rp.13.000/ton untuk pemungutan (tipping fee) tahun 2018 ini.

Pemerintah Kota Banda Aceh menyiapkan anggaran Rp.900 juta yang akan dikirimkan ke rekening bantuan langsung daerah, sesuai dengan saran Mendagri dan Permendagri serta dibayarkan ke pengelola TPA berdasarkan tagihan yang masuk. Pemerintah Propinsi Aceh ikut berperan dalam memberikan biaya operasional sebesar 50%. Sementara untuk sisa biaya operasionalnya dibagi dua lagi antara Banda Aceh dan Aceh Besar (25+25%). 

Optimalisasi pengumpulan dan pengangkutan limbah padat perkotaan menjadi salah satu perhatian utama dalam desain sistem manajemen sampah kota, karena fakta bahwa sistem manajemen yang ada saat ini sering mengalami kendala tingginya biaya pengumpulan dan transportasi. Pengumpulan sampah terpendek dari sisi jarak dan strategi transportasi dapat secara efektif mengurangi biaya pengangkutan sampah. Kegiatan pengumpulan sampah dan membuangnya ke TPA merupakan kegiatan logistik yang sangat penting di kota mana pun.

| Penulis adalah pemerhati lingkungan