Semua Elemen Harus Berikan Perlindungan bagi Anak Korban Kekerasan Seksual Di Aceh

Ilustrasi. Foto: Net.
Ilustrasi. Foto: Net.

Semua elemen termasuk negara memiliki peran penting dalam memberikan perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual. Perlindungan korban kekerasan seksual pada anak sangat penting karena anak merupakan penerus generasi bangsa.


Forum Anak Tanah Rencong (FATAR), Cut Vahnaz Septya, mengatakan hak anak berkaitan erat dengan dua hal, yaitu hak perlindungan dan juga hak perlindungan khusus. Seperti yang diketahui, korban kekerasan seksual dapat menyebabkan gangguan mental yang dapat menimbulkan depresi dan keinginan untuk bunuh diri.

"Jadi, diperlukannya pendampingan dan penyuluhan agar mental korban dapat pulih sehingga ia bisa Kembali diterima dalam masyarakat," kata Vahnaz, Selasa, 2 Agustus 2022.

Selain itu, kata dia, sebagai negara hukum, sudah seharusnya Indonesia memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual karena sejatinya anak-anak harus memperoleh hak untuk mendapatkan pendidikan dan perlindungan agar dapat turut serta dalam membangun Indonesia emas di masa depan.

Vahnaz menjelaskan ada tiga peran penting dalam pencegahan terjadinya kekerasan seksual pada anak. Pertama, peran orang tua yang terbuka agar anak dapat dengan leluasa menceritakan apapun yang ia alami. Orang tua juga harus peka dalam mengenali perubahan perilaku anak dalam kesehariannya.

Kedua, peran guru juga diperlukan untuk memberikan pemahaman agar selalu jaga jarak jika sedang di luar rumah dan memberikan edukasi tentang kekerasan seksual agar terhindar dari kejadian yang tidak diinginkan. Terakhir, peran masyarakat, untuk turut serta dan peduli terhadap kejadian yang terjadi di lingkungan sekitar.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul, menyebutkan anak masuk dalam posisi yang rentan dalam kekerasan seksual, makanya perlindungan dibutuhkan. Perlindungan itu bukan untuk membatasi tapi untuk memenuhi, termasuk haknya untuk mengetahui sesuatu.

Menurut dia, ada tiga elemen penting yang berperan untuk memenuhi elemen perlindungan terhadap anak. Negara merupakan yang paling berperan. Hal ini karena kalau dibebankan kepada keluarga dan lingkungan, itu akan menjadi pembenaran kekerasan seksual ini terjadi di Aceh.

"Ada aturan yang belum komprehensif terkait dengan kekerasan seksual yang berlaku di Aceh. Hal ini menyebabkan pencegahan tidak terbentuk dalam aturan kebijakan dan perlindungan tidak dapat dicapai," ujar Syahrul.

Ia menjelaskan dalam sejarah Qanun Jinayat, tidak ada satupun klausula yang mengatur tentang kekerasan seksual pada anak. Tetapi, ketiga qanun yang dikeluarkan itu mengatur tentang kejahatan terhadap tubuh kita sendiri (khamar, judi, dan lain-lain).

Dalam Qanun Jinayah, lanjutnya, tidak mengenal pemulihan anak terlebih dahulu dalam kasus kekerasan seksual. Sedangkan dalam UU Perlindungan Anak, tidak ada “rem” dalam pemberian hukuman terhadap pelaku namun di lain sisi juga memberikan tanggung jawab lebih kepada negara untuk memulihkan anak dari trauma nya setelah mengalami kekerasan seksual.

"Hal inilah yang menyebabkan penerapan UU Perlindungan anak lebih tepat untuk diterapkan. Kekerasan seksual tidak hanya persoalan menghukum pelaku, tetapi ada hak korban untuk dilindungi di dalamnya," kata dia.

Syahrul menyebut hukum jinayat saat ini belum cukup memadai dalam menangani kasus kekerasan seksual. Dampak penerapan Qanun Jinayat dalam penangganan kasus kekerasan seksual pada anak adalah penghentian kasus (karena dianggap tidak ada bukti).

Kemudian, maraknya putusan bebas pelaku (karena sudah bersumpah), korban menjadi korban ganda (karena pelaku dapat dengan bebas mengulangi kejahatannya karena tidak ada efek jera), pengabaian ha katas reparasi korban (tidak adanya pemulihan fisik dan mental korban yang diatur dalam qanun jinayat).

Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan RI, Andy Yentriyani, mengatakan dalam UU TPKS, ada beberapa muatan penting yaitu korban memiliki hak atas pendampingan dan pendamping juga berhak mendapatkan perlindungan hukum.

Selain itu, pendamping tidak dapat dituntut secara hukum baik secara pidana maupun perdata. Muatan penting yang lain adalah berkaitan dengan hak korban tentang penanganan, perlindungan (tempat yang aman, kerahasiaan identitas termasuk penghapusan konten bermuatan seksual, perlindungan dari sikap APH yang merendahkan korban, dan bebas dari tuntutan), pemulihan.

"Muatan penting UU TPKS yang berkaitan dengan anak yaitu adalah pengecualian delik aduan pada kasus pelecehan seksual non fisik, karena ank sering kali tidak mengetahui apa yang mereka alami, jadi tidak berlaku delik aduan, berbeda dengan kekerasan seksual pada umumnya," ucap Andy.

Selain itu, kata dia, perkawinan anak termasuk tindak pemaksaan perkawinan, pemberatan hukuman (1/3) pada TPKS yang dilakukan terhadap anak, pencabutan hak asuh atau pengampunan anak, pengecualian larangan penyelesaian di luar pengadilan terhadap pelaku anak, perhatian pada kepentingan terbaik pada anak.

"Muatan lain yang penting juga berkaitan dengan pencegahan dan pengawasan. Untuk pencegahan memerlukan peran keluarga, komunitas, dan Lembaga seperti Lembaga agama, pendidikan, dan lain-lain," kata dia.

Ia menyebutkan ada tiga jenis kondisi kebijakan daerah, yaitu pertama Afirmatif, yaitu focus kebijakan daerah pada upaya pencegahan dan penanganan. Kedua, kontradiktif-1, yaitu dasar piker kebijakan daerah menempatkan kekerasan seksual sebagai isu moralitas semata, dengan pengaturan yang bersifat superfisial.

Selanjutnya, Kontradiktif-2, yaitu rumusan kebijakan daerah yang multitafsir, cenderung pada pendekatan punitive daripada edukatif pada isu moralitas dan tidak mengintegrasikan pemahaman utuh ketimpangan kuasa, hak korban, dan Langkah afirmasi.

Politisi Aceh, Nurzahri, mengatakan terkadang, permasalahan yang muncul adalah bukan di aturannya, melainkan di pelaksanaan aturannya.

"Misalnya, pada saat ini kita sudah ada qanun yang berprinsip syariat, tetapi pelaksanaannya tidak didukung oleh aparatur penegak hukum yang mengerti tentang peraturan tersebut," sebutnya.

Menurutnya, Qanun harus direvisi agar pelaksanaan aturannya lebih maksimal. Sehingga, dapat menjadikan hukum yang lebih superior dibanding hukum nasional, bukan mencampur hukum nasional dan daerah.

Dia mengatakan ada banyak faktor yang dapat menyebabkan suatu kejahatan, salah satunya adalah pendidikan dan kurangnya edukasi. Seharusnya, tidak hanya berfokus kepada pemberian hukuman kepada pelaku, tetapi juga fokus untuk memberikan edukasi dan pemahaman terkait bahaya perilaku kejahatan tersebut, tutur Nurzahri.

"Birokrasi juga kadang memunculkan permasalahan, seharusnya lebih diperbaiki lagi karena aturannya sudah ada. Jadi, praktek eksekusi dari aturan tersebut harus lebih dioptimalkan lagi," sebutnya.

Berbagai pandangan ini disampaikan pada Webinar perayaan Hari Anak Nasional 2022 yang diselenggarakan secara kolaboasi oleh Flower Aceh, LBH Banda Aceh, Kontras Aceh, Koalisi NGO HAM, CSI, dan Sekolah HAM Perempuan Flower Aceh.

Gabrina Rezeki, Wakil Ketua Sekolah HAM Perempuan Flower Aceh mengatakan pentingnya pelasanaan webinar ini sebagai sarana untuk edukasi publik.

“Webinar dengan mengusung tema “Urgensi Penguatan Kebijakan Perlindungan Anak dari Kekerasan Seksual di Aceh” bertujuan untuk memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat di Aceh tentang pentingnya perlindungan dan pemenuhan hak anak di Aceh, khususnya perlindungan anak korban kekerasan seksual,” kata dia.