Sepenggal Kisah Irjen Pol Drs Agung Makbul; Jenderal Santri

Irjen Pol DR Agung Makbul SH MH (kanan) berbicang dengan Tgk HM Yusuf A Wahab alias Tu Sop, Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh dan pemimpin Pesantren Babussalam, Jeunib, Birueun; dan Ketua Majelis Permusyawarahan Ulama, Tgk Faisal Ali alias Lem Faisal. Foto: Dokumentasi Kemenkopolhukam.
Irjen Pol DR Agung Makbul SH MH (kanan) berbicang dengan Tgk HM Yusuf A Wahab alias Tu Sop, Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh dan pemimpin Pesantren Babussalam, Jeunib, Birueun; dan Ketua Majelis Permusyawarahan Ulama, Tgk Faisal Ali alias Lem Faisal. Foto: Dokumentasi Kemenkopolhukam.

Pesan Irjen Pol Drs Agung Makbul, Sekretaris Saber Pungli dan Staf Ahli Menteri Polhukam bidang Ideologi dan Konstitusi, dalam khutbah Jumat di Masjid Raya Baiturrahman, berisi ajakan untuk meninggalkan praktik pungutan liar alias pungli. Dia mengingatkan agar umat Islam tidak berlaku korup. Agung mengatakan praktik pungutan liar masuk dalam kategori menzalimi orang lain. Itu termasuk dosa yang mendatangkan azab Allah. 


“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui

batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih,” kata Agung mengutip salah satu ayat dalam surah Asyu-Syu’ra, Jumat, 17 Juni 2022. 

Bagi Agung, berdiri di mimbar masjid bukan hal langka. Dalam satu kesempatan saat berkunjung ke Aceh, Mei lalu, dia juga menyampaikan khutbah di Masjid Agung, Meulaboh, Aceh Barat. Agung mengatakan dia memiliki sedikit pengetahuan yang ingin dia amalkan dan dia sampaikan kepada banyak orang. Ilmu yang tidak diamalkan, kata Agung, seperti pohon tanpa buah.

Di lingkungan kerja, Agung memang dikenal sebagai “jenderal santri”. Pembawaannya kalem. Murah senyum dan terbuka dengan siapa saja yang ditemui. Berbincang dengan Agung juga mengasyikkan karena dia memahami banyak urusan, tidak terkecuali dalam urusan agama. 

Sehari-hari, saat waktu salat tiba, dia sering kali didaulat menjadi imam saat melaksanakan salat jamaah di kantornya, di Kompleks Kementerian Polhukam, di Jakarta. Dia tempat tinggalnya, di kawasan Cibubur, Jakarta, dia diamanahkan untuk menjadi ketua Badan Kemakmuran Masjid. 

Masjid dan balai pengajian adalah tempat Agung oleh orang tua. Dia tinggal di kompleks madrasah yang dibangun dan dibesarkan ayahnya di Cirebon, Jawa Barat. Kota itu juga dikenal sebagai Kota Santri. 

Abah--demikian Agung sosok ayahnya--adalah Haji Turmuzi, bekas Ketua Majelis Ulama Indonesia Wilayah Cirebon dan seorang pendidik. Haji Turmuzi merupakan sosok alim ulama yang cukup dikenal di kalangan masyarakat Cirebon. Haji Turmuzi juga dikenal sebagai Kemit di makam Sunan Gunung Jati.  

Haji Turmuzi menikahi Hajjah Arseni, bekas muridnya yang berasal dari Kuningan, kabupaten yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Cirebon. Pasangan ini dikaruniai 10 orang anak. Agung adalah anak terakhir. 

Sebagai anak bungsu, sejak kecil, dia selalu mengikuti jejak saudara-saudara yang lebih tua. Usai magrib, mereka biasa berkumpul dengan anak-anak lain yang tinggal di sekitar madrasah untuk mengaji. Abah tidak pernah melarang dan membiarkan Agung memuaskan rasa keingintahuan dengan berkeliaran di madrasah dan berteman dengan siapa saja. 

Saat memasuki usia sekolah, Agung mempelajari Alquran langsung dari Abah. Status sebagai anak seorang ulama tidak membuat Agung mendapatkan keistimewaan. Saat tidak bisa mengaji, misalnya, Abah mengingatkan Agung dengan sebilah rotan kecil yang juga dipergunakan untuk menunjuk huruf-huruf hijaiah di dalam Juz Amma atau Alquran. 

Agung juga dikenal sebagai anak yang panjang akal. Syahdan, pada suatu hari, agar tidak mendapatkan hukuman, Agung menyembunyikan rotan milik Abah. Dia berharap agar Abah tidak mengetuk jarinya saat lupa tentang huruf atau tanda baca dalam Alquran. Saat melihat Abah sibuk mencari rotan, Agung merasa senang melihat Abahnya kehilangan “senjata”. 

Namun kesenangan ini tidak berlangsung lama. Keesokan hari, di waktu yang sama, dia melihat Abah menggenggam rotan baru. Abah memandangi wajah Agung, memberi isyarat bahwa Abah tahu pelaku yang menghilangkan rotan itu adalah Agung. 

Sosok Abahlah yang memberikan banyak pengetahuan kepada Agung. Abah mengajarkan pentingnya pengetahuan dan akhlak mulia. Lewat didikan Abah pula Agung berhasil menyabet penghargaan sebagai qari. Menurut Agung, semua itu ditempa dalam waktu yang lama, sejak dia berusia dini. 

Alih-alih menjadi seorang ustaz atau pendidik, Agung malah tertarik untuk bergabung dengan dunia militer. Saat itu, pada awal 80-an, Agung melihat Majalah Gadis dan tertarik dengan sebuah iklan berisi ajakan untuk masuk ke Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri). Agung yang baru saja menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas 2 Cirebon tertarik dengan ajakan tersebut. 

Apalagi salah seorang seniornya di sekolah itu juga menempuh pendidikan di Akabri. Si senior, seusai pendidikan, bercerita kepada anak-anak di sekolah itu tentang pengalamannya masuk ke Akabri tanpa membayar serupiah pun. “Yang penting cerdas, pintar dan sehat,” kata Agung mengenang cerita si senior. 

Setelah menyelesaikan ujian, Agung langsung mendaftar ke akademi itu berbekal sebuah surat keterangan telah mengikuti ujian akhir dari kepala sekolah. Dia berangkat ke Bandung, Ibu Kota Jawa Barat. Karena tidak memiliki kerabat di Bandung, Agung menumpang di rumah kerabat seorang teman yang juga berniat masuk ke Akabri. 

Namun karena rumah itu tidak ada ruangan lain, Agung tinggal di gudang beras milik keluarga itu. Kerja keras Agung terbayarkan. Dia dinyatakan lulus Akabri meski tidak bisa memilih matra yang diinginkannya: angkatan udara. Agung ditunjuk untuk masuk ke kepolisian. 

Abah tidak hidup untuk menyaksikan anak bungsunya masuk ke kawah candradimuka itu. Sebelum Agung lulus, pada Januari 1983, Abah meninggal dunia. Kepergian Abah menguatkan pilihan Agung hingga akhirnya dia lulus dari pendidikan kepolisian. 

Persentuhan Agung dan Aceh dimulai setelah lulus dari Akabri Kepolisian. Agung ditugaskan sebagai Kepala Kepolisian Sektor Kebayakan Kota, di Takengon, Aceh Tengah. Saat itu, Aceh terbagi menjadi tujuh kabupaten. 

Di Aceh pula Agung menemukan belahan jiwanya: Narminda, dara kelahiran Meulaboh, Aceh Barat. Bak pepatah asam di gunung garam di laut, Agung, yang bertugas di Dataran Tinggi Gayo, membawa delegasi Aceh Tengah pada Pekan Kebudayaan Aceh, dan Narminda, yang membawa kontingen Aceh Barat, bertemu di Banda Aceh. 

Keduanya saling jatuh cinta. Agung meminta ibu dan abangnya datang ke Aceh untuk melamar Narminda. Mereka menikah di Meulaboh dan pasangan ini dikaruniai dua anak. Tidak lama kemudian, Agung pindah tugas ke Pidie sebagai kasat lantas sebelum dipindahkan ke Banda Aceh sebagai kasat sabhara. 

Setelah menjalani pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, dan meraih gelar doktorandus, Agung ditugaskan di Sumatera Selatan. Beberapa tahun kemudian, Agung dipercayakan sebagai Kapolres Timika. Penempatan itu sempat ditolak oleh masyarakat setempat. Mereka tidak mau dipimpin oleh Agung yang beragama Islam. 

Namun dengan pendekatan yang tepat, Agung berhasil meluruhkan perasaan warga Timika. Setiap Ahad, dia mendatangi sekolah minggu yang untuk umat Kristen. Agung memutar video edukasi tentang pentingnya mencegah penularan HIV dan mencegah warga Timika mengidap AIDS. 

Para pemuka agama yang awalnya menolak mulai merasakan manfaat Agung di Timika. Bahkan mereka berulang kali meminta agar Agung tidak dipindahkan dari Timika. Akhirnya, setelah tiga tahun bertugas dan ribuan kali penjelasan kepada masyarakat Timika bahwa dia harus meninggalkan daerah itu sebagai konsekuensi karier, Agung dilepas. 

“Saya ditandu dari kantor menuju bandara oleh ribuan orang. Arak-arakannya persis pesta perkawinan,” kata Agung. “Saat itulah saya merasakan bahwa kekayaan sebenarnya itu adalah saat kita bisa memberikan hal-hal yang baik, terutama ilmu pengetahuan, kepada orang lain dengan setulus hati.”

Karena itu dia tidak ragu saat ditunjuk untuk mendidik para polisi dan bergelut di bidang hukum, sebuah jabatan yang banyak dihindari karena dianggap tidak prestisius. Teladan yang ditunjukkan Abah semasa hidup kepada Agung membekas kuat dan mendorongnya untuk terus menularkan ilmu pengetahuan. Bahkan saat ini, Agung tercatat sebagai dosen di banyak perguruan tinggi dan masih aktif mengajar. 

Tidak hanya di ruang kelas, Agung juga kerap memberikan ceramah agama dan khutbah. Lewat mimbar Jumat dan forum-forum pengajian, Agung menyampaikan tentang pentingnya mencintai negara dan makhluk hidup di dalamnya. Kepada banyak orang yang dia jumpai, Agung selalu mengajak untuk menjadi manusia yang menjadi rahmat bagi alam semesta. Bahkan Agung dapat disebut sebagai pioneer polisi santri yang saat ini mulai didorong keberadaannya oleh kepolisian. 

Dalam banyak kesempatan, dia menggunakan waktu untuk bersilaturahmi dengan orang-orang alim. Tidak terkecuali saat berkunjung ke Aceh. Dia mengaku betah berada di Aceh. Dia mengatakan Aceh adalah daerah yang memiliki banyak keberkahan karena doa para ulama. 

Bagi Agung, Aceh adalah negeri yang diceritakan dalam Alquran; negeri dengan kekayaan alam melimpah dan rakyat yang bersyukur. Dalam sebuah pertemuan dengan ulama Aceh, Jenderal Santri itu menyampaikan sebuah keinginan. “Saya mohon didoakan untuk bisa terus kembali ke Aceh.”