Serikat Pekerja Minta Pemerintah Aceh Revisi Qanun Ketenagakerjaan

Perwakilan serikat buruh di Aceh membahas revisi Qanun Ketenagakerjaan Aceh. Foto: Muhammad Fahmi.
Perwakilan serikat buruh di Aceh membahas revisi Qanun Ketenagakerjaan Aceh. Foto: Muhammad Fahmi.

Sebanyak 25 orang Pimpinan Serikat Pekerja/buruh serta aktivis kelompok sosial masyarakat di Aceh meminta Pemerintah Aceh merevisi Qanun Ketenagakerjaan. Mereka menilai situasi pandemi Covid-19 memunculkan masalah baru yang perlu diatur kembali dalam qanun tersebut. 


"Masih banyak masalah ketenagakerjaan yang belum diatur dan diakomodir dalam qanun," kata Arnif, ketua tim perumus revisi Qanun Ketenagakerjaan Aceh, Senin, 11 Oktober 2021.

Selama pandemi, kata Arnif, banyak terjadi pelanggaran hak normatif pekerja, terutama pekerja sektor perhotelan. Mereka dirumahkan dan hak mereka tidak dibayarkan oleh perusahaan. 

Banyak juga pekerja di Aceh yang bekerja lebih dari 8 jam sehari, pekerjaan tetap dihitung harian, pekerja dibayar dengan gaji di bawah standar dan pemutusan hubungan kerja semena-mena. 

Arnif juga memberikan catatan penting terkait perlakuan tak pantas yang diterima oleh pekerja perempuan. Mereka, kata Arnif, rentan mengalami kekerasan seksual oleh atasan. Seperti yang menimpa seorang buruh perempuan di perkebunan sawit, beberapa waktu lalu. 

Pelecehan dan kekerasan seksual, baik tindakan ataupun verbal, juga terjadi di sektor lain. Seperti di rumah sakit dan hotel. Namun para korban enggan melapor karena diancam pecat. Mereka memilih mendiamkan saja perlakuan buruk tersebut.

Revisi qanun ketenagakerjaan, kata Arnif, diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada para pekerja di Aceh dan mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh buruh dan pekerja. 

"Termasuk memaksimalkan peran dan fungsi pengawas ketenagakerjaan dalam melakukan pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan di perusahaan," kata Arnif.

Laporan Muhammad Fahmi