Sholat Subuh di Tengah Lautan Hindu Bali 

Ilustrasi, Masjid Al Hikmah Denpasar. Foto: denpasartourism via Suara.com.
Ilustrasi, Masjid Al Hikmah Denpasar. Foto: denpasartourism via Suara.com.

Suasana Tengah malam masih sangat terasa, maklum waktu Aceh masih jam 3.25 WIB, sementara saya terbangun di tempat tidur yang jamnya sudah 4.25 WITA. Dari jarak yang tak jauh, lantunan Shalawat Tarhim mendayu-dayu yang secara bunyi membangunkan ummat untuk shalat subuh atau bersahur bagi yang berpuasa.

Shalawat yang diciptakan dan dilantunkan Qar’iah ternama Mesir tahun limapuluhan, Syekh Mahmud Khalil Al Husasairy, adalah sentuhan lembut yang membuat jiwa terbangun. Mendengar nada dan bacaanya saja tanpa mengerti arti  telah membuat pendengarnya menyerah pasrah kepada Khalik. 

Bagi yang tahu artinya, bait-bait yang memuliakan dan meninggikan penghulu Rasul itu adalah suntikan ekstasi dosis tinggi untuk sebuah pertemuan dengan Rabb yang sangat dasyhat. Dan itu adalah sebuah energi besar untuk memulai hari yang penuh perjuangan.

Sesaat saya lupa dimana berada. Perjalanan tadi malam menjelang magrib ditengah rintik melewati wilayah hamparan sawah, yang diselingi hutan, dan jalan naik turun telah membuat saya sangat lelah dan tidur dengan sangat nyeyak. 

Segera saya ingat ucapan sopir tadi malam tentang kawasan Bedugul yang sedang kami lewati. Ingatan saya seperti tersentak, teringat rumah-rumah sepanjang jalan yang kami lewati. Lampu mobil yang menerangi patung-patung batu yang dibalut dengan kain bercorak putih hitam. 

Ya, saya di Bali, tepatnya di Buleleng. Apakah benar saya di Bali yang digelar Pulau Dewata itu? Bagi masyarakat Bali, pulau mereka adalah pulau Dewa-Dewa, dan bagi saya di Pulau itu, dengan bantuan Shalawat Tahrim  di mesjid itu, adalah tempat yang atas takdirNya, kembali membasuh jiwa dengan yang sombong, angkuh, dan kadang pongah. Tahrim di ujung malam itu benar-benar membasuh dan mengasah ulang hati yang kadang beku dan mungkin bebal.

Bagi masyarakat Bali, tak soal jika pulaunya dianggap milik dan ciptaan Allah, berkebalikan dengan kepercayaan mereka sebagai milik Dewa-dewa yang mereka percayai. Dan itu telah berlangsung cukup lama semenjak akhir abad ke 15, ketika dua dari 40 prajurit Mojopahit yang beragama Islam, Raden Modin dan Kiai Abdul Jalil mengantar pulang Raja Kerajaan Gelgel, Dalem Ketut Ngelesir pada abad ke 15. Mereka tidak kembali ke Jawa, dan kemudian memutuskan untuk berdakwah.

Kini setelah lebih dari setengah milinea, jumlah ummat Islam di Bali sekitar 10 persen dari total  sekitar 4,4 juta penduduk Bali. Itu artinya setiap 10 orang Bali ada 1 orang yang beragama Islam, baik yang asli Bali maupun migran, ataupun perkawinan silang diantara keduanya. Islam yang bukan Bali umumnya, orang Bugis dan Jawa, yang juga telah hadir beratus tahun yang lalu, dan kini telah menjadi warga Bali.

Rumah yang dikelilingi oleh ratusan rumah kaum muslimin lainnya adalah tipikal komunitas islam yang tinggalnya dalam kluster islam, bercampur dengan Hindu, atau tersebar satu-satu di tengah mayoritas Hindu di Bali. Uniknya, percampuran itu sama sekali tak pernah mempunyai gesekan, apalagi konflik. Di Bali, nyaris tak terdengar ada konflik antar agama.

Sukar saya membayangkan keihklasan masyarakat Hindu yang mayoritas “membiarkan” tidur subuhnya yang sedang nyenyak dibangunkan oleh shalawat Tahrim yang mendayu. Ada suara mengaji Al Quran, Azan, dan bacaan bebagai zikir dan shalawat sehabis shalat fardhu. Ketika tadi pagi jam 8, saya mendengar shalawat Maulud Rasul dari desa yang jauh dengan suara mikrofon yang melengking, bawah sadar saya, seakan saya di sebuah desa di kawasan Pidie, yang sedang memperingati Maulid Rasul. Segera saya sadar, saya berada di Bali, ketika melihat orang-orang disekeliling saya yang juga Islam, berbicara bahasa lain, yakni bahasa Bali.

Dua hari yang lalu, berangkat dari rumah tinggal kami, saya ke Singaraja, ibu kota pertama Bali, pada awal kemerdakaan, sebelum pindah ke Denpasar pada tahun 1960. Singaraja adalah pusat Kerajaan Buleleng, tempat dimana ibu kandung Presiden Sukarno berasal. 

Ketika memasuki Singaraja, saya melihat kota yang bersih yang juga ditempati paling kurang dua komunitas Islam di jantung kotanya, kampung Bugis, dan kampung Jawa. Ummat islam itu pada awalnya adalah migran Islam- terutama suku Bugis yang membantu Raja Buleleng  Ki Gusti Ketut Jelantik berperang melawan Belanda pada tahun  1846. Mereka hidup berdampingan secara damai sampai hari ini, dan keturunan itu kini bercampur baur menjadi warga Bali, dengan bawaan kehidupan Islami yang mereka terima dari nenek moyangnya. 

Di Singaraja saya menemukan di satu dua tempat ada penjual Bakso yang membentangkan spanduk yang berbunyi rada aneh dan tidak biasa. Bunyinya “Bakso Celeng-100 persen Haram”. Semula saya berpikir ini adalah pernyataaan jujur dan serius untuk menjaga pengunjung ummat Islam untuk tidak makan makanan haram. Dugaan saya ternyata meleset.

Ternyata ada migran, entah imannya terlalu “tebal dan dalam” yang dengan gagah berani membentang kan spanduk “Bakso Sapi 100 persen Halal” dengan kain besar dan tulisan besar dengan warna yang mencolok. 

Seorangpun tidak tahu, apakah hal itu karena imannya, sehingga tak mau peduli dengan iman mayoritas ummat lain, dan jelas telah mengusik toleransi yang telah berjalan berabad-abad. Padahal kode kecil saja, atau bahkan huruf besar spanduk menyebutkan makanan etnis asal makanan, seperti Madura, Banjar, atau bahkan Warung Muslim yang lainnya sudah cukup. Atau menulis dengan huruf biasa saja dibagian dalam cukup memberi informasi kepada konsumen.

Perasaan pongah yang dimiliki oleh beberapa orang itu telah menimbulkan perlawanan budaya “toleransi” yang selama ini telah berlangsung berabad-abad. Tak jarang masyarakat Hindu sangat menghormati warga, kampung, atau tetatangganya yang beragama Islam. Bahkan tak jarang, ketika ada perayaan agama mereka --Hindu yang menyembelih babi, mereka datang kepada komunitas Islam untuk menyampaikan acara itu, sambil memberikan jaminan bahwa darah sembelihan babi ‘kolosal” berikut dengan pembersihannya akan ditanam ke tanah. 

Darah dan kotoran jeroan babi itu  tidak akan dibiarkan dibuang ke kali atau saluran air antar kampung yang tak jarang berdampingan dengan penduduk yang beragama Islam. Sungguh sebuah kehidupan sesama yang sangat saling menghargai dan menghormati kepercayaan masing-masing. Saling hormat itu telah berlangsung berabad-abad, dimana noktah-noktah kecil masyarakat muslim hidup ditengah lautan saudara-saudaranya yang beragama Hindu. 

Ada cukup banyak contoh lain yang tak perlu dikemukakan tentang keunikan dari kerukunan yang mereka miliki. Setiap saya berjalan  dan bertemu dengan anggota komunitas yang tidak mempunyai identitas Bali saya merasa seperti di Aceh. Ketika sembahyang Maghrib, Isya dan Subuh, kefasihan, dan tajwid bacaan Alfatihah dan berbagai surah lain dari imamnya, membuat bawah sadar saya, lagi-lagi seperti di Aceh. 

Demikian juga dengan zikir, doa, dan salam setelah sembahyang berjamaah. Ketika keluar dari Mesjid pada waktu Subuh juga seperti di Aceh. Namun ketika saya melakukan jalan pagi seperti biasanya sehabis subuh, setelah lebih dari 15 menit baru saya sadar saya di Bali. Karena mulai terihat ada papan besar “Perkuburan Muslim” di samping jalan, yang kemudian beriringan dengan rumah yang da patung berkain di depannya.

Menurut cerita, migrasi Bugis ke Bali, dan juga ke tempat lain di Nusantara, termasuk ke Aceh, terjadi ketika Raja Gowa, -Makasar dikalahkan Belanda pada akhir abad ke 17. Cukup banyak bangsawan dan ulama Bugis yang berlayar keluar dari tanah airnya, termasuk mereka yang berlayar dan tinggal di Bali. 

Sampai hari ini masih ditemui beberapa kampung Bugis di Buleleng, tetapi mereka telah menjadi “orang Bali” yang Islam yang hidup rukun dengan tetangganya, baik tetangga kampung, maupun tetangga Rukun  Tatangga- Warga . Bahkan ada yang bersaudara- ada banyak kasus pemuda islam berdarah Bugis atau lainnya kawin dengan gadis Bali Hindu, dan persaudaraan dan saling menghormati antara keluarga tetap terjaga dengan baik. 

Saya ke Bali bersama senior saya, Dr. Qismullah Yusuf, ilmuwan pendidikan yang juga polymath dalam berbagai ilmu, memenuhi undangan Dr. Baidowi untuk diskusi sebuah buku. Acara itu dilakukan di rumahnya, tepatnya kampung asal istrinya, di Desa TegalLinggah, tingginya sekitar 500 meter diatas permukaan laut, Kecamatan Sukasada, Buleleng Bali. 

Baidowi adalah lulusan Doktor pendidikan di AS yang mengajar di sekolah Tenda, Aceh Jaya pada saat pasca Tsunami selama lebih dari setahun. Ia kemudian dipercayai oleh Surya Paloh bersama dua temannya untuk mengelola sekolah Sukma Bangsa di Aceh yang sekarang sudah memasuki tahun ke 15 pengabdiannya. 

Sekalipun ia tidak menjadi orang Aceh “by blood”, ia telah sempurna menjadi orang Aceh “by heart”. Sukma ditangannya telah mendidik dan membuat produknya mempunyai nilai-nilai keislaman, keacehan, keindonesiaan.

Rumah Dr. Baidowi yang dikelilingi oleh ratusan rumah kaum muslimin lainnya adalah tipikal komunitas islam yang tinggalnya dalam kluster islam, bercampur dengan Hindu, atau tersebar satu-satu di tengah mayoritas Hindu di Bali. Uniknya, percampuran itu sama sekali tak pernah mempunyai gesekan, apalagi konflik. Di Bali, nyaris tak terdengar ada konflik antar agama. 

Sukar saya membayangkan keihklasan masyarakat Hindu yang mayoritas “membiarkan” tidur subuhnya yang sedang nyeyak dibangunkan oleh shalawat Tahrim yang mendayu, suara mengaji Al Quran, Azan, dan bacaan bebagai zikir dan shalawat sehabis shalat fardhu. Ketika tadi pagi jam 8, saya mendengar shalawat Maulud Rasul dari desa yang jauh dengan suara mikrofon yang melengking, saya kembali merasa di Aceh.

Kami berdua tak tahu mengapa Dr. Baidowi mengundang kami ke Bali kali ini  hanya untuk diskusi sebuah buku. Kami akan sangat senang saja jika diskusi itu dilakukan di Jakarta, atau di kota lain di luar Aceh dengan sisipan plesir sedikit untuk penyegaran tubuh dan jiwa. Saya dan senior saya diam-diam berdiskusi, apakah selain membahas buku itu,  ada pesan Dr. Baidowi ataupun hikmah besar kunjungan kami ke Bali kali ini. 

Mungkin Dr. Baidowi tak pernah membayangkan bahwa kedua kami dalam tempo beberapa hari di Bali, telah mendapat sebuah pelajaran besar kehidupan kebangsaan tentang bagiamana menjadi dan merasa minoritas di Tengah lautan mayoritas. Ada juga pelajaran lain tentang betapa beratnya perjuangan ummat kedua agama itu bekerja keras berabad-abad untuk sebuah kehidupan toleransi yang tinggi. 

Ada sebuah “kode equilibrium” kehidupan bersama yang telah dibangun dan sanggup menembus zaman. Namun ketika ada orang yang datang dengan keimanan yang mungkin sangat tebal dan dalam, namun berperiaku “Emangnya Gue Pikirin”, maka equilibrium itu terganggu.

Saya tidak tahu, dan belum bisa membayangkan bagaimana orang lain, atau orang yang beragama lain, ketika mengunjungi Aceh. Tetapi undangan Dr. Baidowi untuk kami berdua sungguh memberi pelajaran baru tentang siapa saya dan bagaimana masyarakat tempat dimana saya lahir, belajar dan hidup sampai hari ini. Terimakasih Dr. Baidowi.

| Penulis adalah Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.