- Kunjungan Wisman Menurun, Disbudpar Aceh: Pembangunan Destinasi Tak Langsung Ada Wujudnya
- Menparekraf Sebut ACF 2023 Upaya Pemulihan Ekonomi Nasional
- Resmi Dibuka oleh Pj Gubernur, ACF 2023 Siap Angkat Budaya Kuliner Aceh
Baca Juga
Negeri ini memiliki semua hal yang dibutuhkan untuk mengembangkan pariwisata. Masyarakat harus diajarkan untuk siap menjadi bagian dari orkestrasi kepariwisataan Aceh.
USIA boleh banyak, tapi soal semangat dan tekad, Harsono, 65 tahun; dan Sam Lenggono, 70 tahun, tidak kalah dengan anak-anak muda. Keduanya adalah penggemar motor vespa yang berusaha menjelajahi negeri di atas motor tua itu.
“Sempat terhenti karena pandemi, tapi kini kami bertempur lagi,” kata Sam kepada Kantor Berita Politik RMOLAceh, Ahad, 28 Agustus 2022.
Harsono dan Sam menetap di Pekan Baru, Riau. Dua sahabat itu menjadikan sampai ke Kilometer 0 Sabang setelah berhari-hari berkendara dengan vespa kesayangan mereka. Sebelum menyeberang, mereka menghabiskan waktu dengan Scooterist--istilah untuk pengguna vespa--bersilaturahim dan berkeliling Banda Aceh.
Seperti banyak wisatawan yang datang ke Aceh, Harsono dan Sam mendatangi sejumlah objek wisata andalan di Banda Aceh dan Aceh Besar, seperti Masjid Raya Baiturrahman, Museum Tsunami, Museum Aceh, Kapal PLTD Apung, dan Boat di Atas Rumah. Keesokan hari, mereka menyeberang ke Sabang dan meneruskan perjalanan ke Kilometer 0.
“Negeri ini indah. Tak banyak daerah yang dianugerahi keindahan alam seperti Aceh. Saya sangat bersyukur sempat berkendara ke Aceh,” kata Sam.
Ketua Komunitas Aceh Berdaya, Wahyu Virga Wangsa, Aceh menjadi salah satu daya tarik para penggila touring dan wisata petualangan. Melintasi banyak kota di atas aspal hitam, atau membelah belantara dengan motor khusus adalah perpaduan daya tarik yang dicari para penyuka adrenalin.
Hal ini, kata Wahyu, memberikan dorongan besar pada perkembangan sektor usaha mikro, kecil dan menengah di seluruh daerah di Aceh. Dalam setahun terakhir, dimulai saat Idul Fitri lalu, Aceh menjadi tujuan wisatawan dari Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Barat.
“Mereka masuk ke Aceh dari jalur selatan atau timur. Dan semua ini memberikan keuntungan bagi masyarakat Aceh,” kata Wahyu.
Wahyu mengatakan hal ini ceruk kebutuhan wisatawan selama di Aceh masih terlalu banyak dan belum terisi. Potensi keuntungan dari penjualan pernak-pernik oleh-oleh hingga penyediaan akomodasi dan makanan masih terbuka lebar.
Produksi kaos atau gantungan kunci, misalnya, masih mengandalkan pasokan dari luar Provinsi Aceh, terutama dari Pulau Jawa, meski dibuat sesuai dengan kebutuhan pasar di Aceh. Hal ini disebabkan Pulau Jawa mampu memproduksi pernak-pernik dengan harga lebih murah dan kualitas dan desain menarik.
“Inilah yang perlu didorong agar seluruh uang yang beredar dampak dari pariwisata benar-benar mendorong pertumbuhan perekonomian daerah. Terutama UMKM,” kata Wahyu. “Bahkan kopiah dengan motif Aceh didatangkan dari luar Aceh. Ini sebuah ironi.”
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota seharusnya mendorong masyarakat untuk memproduksi lebih banyak lagi produk yang dibutuhkan oleh wisatawan yang datang ke Aceh. Pemerintah, kata dia, jangan lagi menghabiskan anggaran untuk kebutuhan konsumtif. Masyarakat butuh sokongan untuk menjadi produktif lewat pelatihan yang memacu kreativitas.
Wahyu mengatakan saat ini terdapat 250-300 UMKM di Banda Aceh dan Aceh Besar. Mereka bekerja untuk mengisi pasar di bidang kuliner, handicraft, fashion dan kriya. Sebagian besar dari mereka, kata Wahyu, terkendala harga mahal bahan baku yang dikirim dari luar Aceh.
Di sinilah seharusnya pemerintah mengambil peran. Termasuk dengan mengedukasi masyarakat untuk tidak lagi menganggap pariwisata berseberangan dengan pelaksanaan syariat Islam yang menjadi nadi masyarakat.
Dari sisi akomodasi, objek tujuan wisata di Aceh terus membaik. Pengelola Rubiah Resort Sabang, Dina Iswara, masyarakat mulai melek terhadap wisata dan mau terlibat dengan menyediakan penginapan-penginapan dengan harga terjangkau. Tempat penginapan ini tersebar di banyak titik di Sabang.
Bahkan saat ini, tambah Dina, banyak wisatawan asal Singapura atau Malaysia yang memanfaatkan jasa homestay untuk tempat mereka bermalam. “Fasilitas yang disediakan juga lebih baik dan layak untuk mengakomodir kebutuhan wisatawan lokal dan internasional.”
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Pramuwisata Indonesia (DPD-HPI) Aceh, Azhari, mengatakan kondisi dunia periwisata Aceh saat ini benar-benar “bergairah”. Seluruh pemangku kepentingan pariwisata di Aceh menantikan saat-saat seperti ini.
“Kita punya banyak hal untuk dijual ke wisatawan. Sejarah, keindahan alam, budaya, kuliner, keramahtamahan. Ini semua adalah modal besar untuk menjadikan Aceh sebagai salah satu destinasi utama di negeri ini,” kata Azhari.
Dari itu, kata Azhari, untuk mencapai arus wisatawan baik dari daerah maupun luar daerah, baik nasional maupun manca negara. Menurut dia harus lebih banyak mempromosikan kembali perkembangan wisata di Aceh.
Di saat yang sama, pemerintah juga harus memimpin orkestrasi perbaikan layanan pariwisata Aceh lewat perbaikan fasilitas, layanan, keamanan dan transportasi. Pemerintah juga dituntut untuk mengajak seluruh pemangku kepentingan pariwisata Aceh bersatu dan kompak untuk menyambut kunjungan wisatawan.
Bagi para pelaku, kata Azhari, wisata adalah upaya memberikan pelayanan terbaik agar wisatawan mau menghabiskan uang mereka di Aceh. Karenanya Aceh punya segalanya. Wisata laut, gunung, air terjun, sungai, hutan, budaya dan banyak lagi.
“Tinggal kini, seberapa besar keinginan kita untuk menjadikan wisata Aceh bernilai di mata wisatawan. Itu tergantung dari cara kita mempromosikan dan mengemas seluruh objek wisata untuk layak dijadikan tempat bersenang-senang,” kata Azhari.
- Promosi Wisata Aceh Dinilai Masih Belum Maksimal
- Kunjungan Wisman Menurun, Disbudpar Aceh: Pembangunan Destinasi Tak Langsung Ada Wujudnya
- Menparekraf Sebut ACF 2023 Upaya Pemulihan Ekonomi Nasional