Sikap Nelayan Aceh dan Negara Terbelah Dalam Menangani Pengungsi Rohingya

Internasional Seminar, Rescue of Refugees at Sea, Loopholes Between Indonesian Law and Adat Aceh, di Banda Aceh, Selasa, 28 Juni 2022. Foto: RMOLAceh/Muhammad Fahmi.
Internasional Seminar, Rescue of Refugees at Sea, Loopholes Between Indonesian Law and Adat Aceh, di Banda Aceh, Selasa, 28 Juni 2022. Foto: RMOLAceh/Muhammad Fahmi.

Koordinator Kemanusiaan Yayasan Geutanyoe, Nasruddin, mengatakan penyelamatan terhadap pengungsi warga negara Rohingya tidak terlepas dari pertolongan atau kerja keras panglima laut Aceh, masyarakat dan rakyat Aceh. Sayang, hal ini tidak seiring dengan aparatur negara yang bertugas di laut. 


"Pada 2015, hampir 1.000 pengungsi Rohingya diselamatkan," kata Nasruddin, di sela-sela kegiatan Internasional Seminar, Rescue of Refugees at Sea, Loopholes Between Indonesian Law and Adat Aceh, di Banda Aceh, Selasa, 28 Juni 2022.

Nasruddin mengatakan sikap aparatur negara itu terhambat oleh regulasi yang tumpang tindih terkait penanganan imigran. Sementara dalam hukum adat, siapapun yang membutuhkan pertolongan wajib dibantu. 

Dalam kesempatan itu, Nasruddin berharap sejumlah aturan adat dapat digunakan sejalan dengan hukum nasional. Apalagi, selama ini, nelayan Aceh yang tergabung dalam lembaga adat laut memiliki peran penting upaya penyelamatan pengungsi di tengah laut.

Bantuan dari nelayan Aceh dan masyarakat pesisir, kata Nasruddin, membantu para pengungsi. Bantuan berupa mendaratkan pengungsi dari atas kapal rusak, atau membantu memberikan kebutuhan makanan bagi pengungsi, seperti air, beras dan lainnya. 

"Kami berharap seminar ini dapat memberikan peluang, tantangan dan juga celah hukum yang mungkin bagi kita dalam upaya penyelamatan darurat pada kondisi di laut," kata Nasruddin.

Pemerintah Indonesia pada 2016 mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016. Salah satu poin dalam aturan ini adalah pembentukan satgas yang mengurusi pengungsi luar negeri. 

Lewat aturan ini, penanganan pengungsi yang sebelumnya berada di bawah imigrasi dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. Dia juga berharap dapat dirumuskan solusi alternatif untuk melindungi pengungsi dari sindikat perdagangan manusia. 

Nasruddin mengatakan pengungsi Rohingya harus menggunakan cara-cara mereka untuk masuk ke negara lain karena negara lain tidak mengakui kewarganegaraan mereka. 

“Mereka tidak mendapatkan identitas apapun. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka, mereka harus menggunakan jalur buruk," kata Nasruddin. “Dan sebagian besar mereka berasal dari Afganistan. Bukan Rohingya. Kebutulan di Aceh yang paling banyak warga Rohingya karena letak geografis yang lebih dekat dengan Aceh.”