SKB dan Berkeyakinan

Ilustrasi: Deviantart.
Ilustrasi: Deviantart.

SURAT Keputusan Bersama Menteri (SKB) Tiga Menteri tentang peraturan pakaian bagi siswa, guru dan staf sekolah umum yang baru saja ditetapkan beberapa waktu yang lalu memunculkan polemik yang seru. Kalangan yang mendukung berargumen bahwa kebijakan ini bisa melindungi hak beragama dan berkeyakinan bagi seluruh pihak di sekolah terutama siswa berupa keleluasaan untuk memakai pakaian bercirikan agama atau yang tidak tanpa adanya pemaksaan (coertion).

Selain itu, ketentuan ini menjadi cara untuk memperkuat budaya dan praktek toleransi, hak berkeyakinan, non diskriminasi dan kebinekaan dalam dunia pendidikan. Sementara itu, kalangan yang menolak mendasari sikapnya pada pandangan bahwa SKB ini mengarah kepada sekularisme dan merugikan umat Islam. 

Pencabutan kewenangan sekolah umum untuk mewajibkan pakaian sesuai syariat agama merupakan penyimpangan terhadap tujuan pendidikan yaitu membentuk karakter siswa yang beriman, bertakwa dan berakhlakul karimah. SKB yang dipolemikkan ini mengatur sekolah negeri yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Isinya memberi keleluasaan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk memilih antara seragam dan atribut tanpa kekhususan agama, atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama. 

Keleluasaan ini bermakna bahwa Pemerintah Daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama. Konsekuensinya, Pemerintah Daerah dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama. SKB ini memberi waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja untuk pelaksanaannya sejak keputusan bersama ini ditetapkan. SKB ini juga mengatur tentang sanksi. 

Jika terjadi ketidakpatuhan terhadap keputusan bersama ini, maka sanksi akan diberikan kepada pihak yang melanggar. Jika yang melanggar adalah kepala sekolah, pendidik, atau tenaga kependidikan maka Pemerintah Daerah berwenang memberikan sanksi. 

Gubernur berwenang memberikan sanksi jika yang tidak taat adalah bupati atau wali kota. Jika pelanggarnya Gubernur maka Kementerian Dalam Negeri berhak memberikan sanksi kepada Gubernur. Sedangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berwenang memberikan sanksi kepada sekolah yang melanggar dengan peninjauan Kembali Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan bantuan pemerintah lainnya. 

Isi SKB ini juga mengatur kewajiban Kementerian Agama untuk melakukan langkah antisipasi dan persuasi dalam bentuk pendampingan praktik agama yang moderat. Kementerian Agama dapat memberikan pertimbangan untuk pemberian sanksi kepada pelanggar dan penghentian sanksi. SKB ini mengecualikan Provinsi Aceh. 

Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan SKB ini sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh. Munculnya SKB ini dipicu oleh kasus pewajiban siswa non-muslim untuk memakai jilbab di salah satu sekolah negeri di Padang, Sumatera Barat. 

Namun, persoalan yang direspons SKB ini lebih luas dari persoalan yang muncul dari kasus ini. Yakni persoalan tentang hak untuk leluasa menggunakan corak pakaian di sekolah umum berkaitan dengan ciri keagamaan tertentu. 

Di daerah lain juga muncul persoalan ini. Jika di kota Padang terjadi pemaksaan berjilbab bagi siswa non-muslim, di beberapa daerah di wilayah timur terjadi pelarangan siswa muslim memakai jilbab. Kasus ini terjadi di berbagai daerah di Bali, Kota Manokwari, Papua Barat dan di NTT. Argumen yang dipakai oleh baik yang mewajibkan siswa non-muslim memakai jilbab maupun pihak yang melarang siswa muslim memakai jilbab ternyata sama, yakni “menghormati adat-istiadat”, “menghargai kultur dan budaya lokal”. 

Pengelola sekolah merasa berhak untuk memaksa siswa memakai corak pakaian yang tidak sesuai dengan keyakinan siswa yang bersangkutan dengan dasar budaya, kultur dan adat-istiadat setempat. Para murid yang terdampak oleh pewajiban dan pelarangan pemakaian jilbab ini merasa diperlakukan tidak semestinya lantaran dipaksa menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan agamanya. 

Bagi murid non-muslim yang diwajibkan memakai jilbab tentu merasakan ketidaknyamanan karena memakai pakaian yang mengandung simbol agama lain. Demikian juga bagi siswi-siswi muslim yang dilarang memakai jilbab tentu merasakan beban batin karena tidak menjalankan kewajiban agamanya yakni menutup aurat. 

Keberatan lainnya adalah adanya perasaan terdominasi yang merusak rasa keadilan karena perlakuan tidak setara berdasarkan latar belakang agama, yakni diskriminasi agama dan keyakinan. Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah apakah betul daerah-daerah yang terjadi kasus pewajiban jilbab maupun pelarangan jilbab memiliki kultur, budaya dan adat-istiadat yang mewajibkan atau memaksa orang beragama lain untuk berpakaian sama dengan corak pakaian agama dominan? 

Pertanyaan kedua, bisakah adat dan budaya agama dominan mengesampingkan hak individu warga negara untuk leluasa menjalankan ajaran agama dalam berpakaian di sekolah?  Dengan kata lain, dapatkan penghormatan pada kultur, budaya dan adat- istiadat setempat mengorbankan rasa keadilan siswa-siswi kelompok agama minoritas untuk diperlakukan setara? Menurut para ahli ilmu sosial, bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa kosmopolit yang terbuka terhadap budaya dan agama yang berbeda. 

Sikap inklusif ini juga tercermin dari budaya berpakaian yang diterima secara sosial dengan parameter nilai sopan santun yang disepakati secara bersama. Pakaian yang dipandang layak dikenakan di ruang publik tidak hanya pakaian bercorak agama tetapi juga pakaian yang memenuhi syarat etika dan kesopanan yang diterima oleh semua penganut agama-agama. 

Artinya, sejauh seseorang berpakaian sopan maka ia akan diterima secara wajar di ruang-ruang umum. Termasuk di kantor-kantor pemerintahan maupun sekolah-sekolah umum. Meskipun seseorang tidak berpakaian dalam corak agama tertentu, asalkan dalam batas-batas kesopanan umum, ia diterima sebagai kelaziman. Dalam perkembangannya ada kelompok masyarakat yang cenderung ingin memaksakan cara berpakaian corak agama tertentu kepada khalayak umum, bahkan kepada penganut agama yang berbeda. Biasanya, pemaksaan cara berpakaian semacam ini dilakukan oleh kelompok kecil penganut agama mayoritas di suatu daerah kepada penganut agama minoritas di sana. 

Praktek “tirani mayoritas” ini  dipandang sebagai akibat munculnya kelompok-kelompok fundamentalis dan konservatif dalam tubuh penganut agama-agama. Berdasarkan pengalaman di lapangan, tirani mayoritas agama ini berlindung di balik jargon “menghormati budaya lokal”. Kasus pewajiban memakai jilbab bagi non-muslim di kota Padang memakai jargon “syara’ basandi adat, adat basandi kitabullah”. 

Kelompok kecil umat Kristen di Papua juga memakai jargon “Papua Tanah Injili” untuk membenarkan pelarangan berjilbab bagi siswi muslim sekolah umum di sana. Demikian juga dengan kasus di Bali, semangat melestarikan adat  semisal “Bali Ajeg” dimaknai secara keliru oleh kalangan konservatif untuk membenarkan pelarangan siswi muslim berjilbab. 

Hal yang sama terjadi di NTT, murid berjilbab terganjal keharusan menyesuaikan diri dengan adat setempat. Sesungguhnya pemaksaan dan diskriminasi berdasarkan agama semacam ini ditentang oleh kelompok agama mainstream yang pada umumnya bersifat moderat. Di kalangan mayoritas umat Islam sendiri, pemaksaan agama sangat dihindari karena prinsip “la ikroha fid din”. Hak 

siswa menikmati kebebasan beragama dan berkeyakinan di sekolah umum dijamin oleh Konstitusi dan Undang-undang. Jaminan ini termaktub dalam UUD 1945 pasal 28 E dan 28 I, serta pasal 29 ayat 2. Jaminan oleh Undang-undang termaktub dalam UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 4 dan UU No. 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR Pasal 18. 

Hak ini meliputi jaminan akan kebebasan untuk menentukan agama atau keyakinan atas dasar pilihannya sendiri, kebebasan–baik sendiri maupun bersama orang lain, baik di tempat umum atau tertutup– untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penunaian, pengamalan dan pengajaran, termasuk memakai pakaian sesuai dengan ajaran agamanya sendiri. 

Selain itu, siswa juga berhak mendapatkan pelayan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan ajaran agama orang tuanya. Dalam UU No. 5 tahun 2005 pasal 18 ditegaskan penghormatan kepada kebebasan orang tua atau wali untuk menjamin pendidikan agama dan moral bagi anak sesuai dengan agama orang tua atau walinya. 

Oleh karenanya, selain adanya mata pelajaran agama bagi mayoritas siswa, setiap sekolah umum berkewajiban untuk menyediakan atau memfasilitasi pelajaran agama dan guru agama bagi siswa beragama minoritas sesuai dengan agama orang tua atau wali para siswa yang bersangkutan. Pemaksaan bagi siswa minoritas untuk mengikuti pelajaran agama mayoritas tentu bertentangan dengan prinsip penghormatan pada agama orang tua atau wali siswa. 

Dalam pelaksanaan jaminan ini, negara juga telah menegaskan larangan diskriminasi terhadap siswa berdasarkan agama. Prinsip non-diskriminatif ini ditegaskan UUD 1945 Pasal 28I ayat 2 bahwa, ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”. 

Artinya, sekolah berkewajiban memperlakukan siswanya secara berkeadilan dan setara baik dalam pemberian keleluasaan bagi siswa menjalankan agamanya masing-masing, maupun pelayanan pendidikan dan pengajaran agama, penyediaan fasilitas dan sarana peribadatan secara layak sesuai agama dan keyakinan para siswa. 

Selain itu, Undang-undang juga menjamin bahwa tidak seorangpun termasuk para siswa di sekolah boleh menjadi sasaran pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk memiliki atau memeluk agama atau keyakinan atas pilihannya sendiri. Perlu dipahami bahwa pemaksaan yang dilarang ini bermakna luas, paling kurang meliputi dua jenis paksaan, yaitu paksaan fisik (physical coercion) dan paksaan tidak langsung (indirect means coercion). 

Paksaan fisik di sini termasuk penggunaan ancaman dengan kekuatan fisik atau sanksi hukuman tertentu untuk memaksa seseorang menganut atau tidak menganut atau pindah agama dan keyakinan, termasuk memaksa seseorang untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan keyakinannya. Sementara itu, paksaan tidak langsung mencakup, antara lain, adanya iming-iming insentif dan kemudahan dari pemerintah, adanya hak istimewa (privilege) bagi kelompok agama atau kepercayaan tertentu, baik berdasarkan hukum publik (public law) maupun menggunakan hukum privat (private law). 

Pewajiban berjilbab bagi siswi non-muslim dan pelarangan berjilbab bagi siswi muslim berdasarkan peraturan sekolah merupakan pemaksaan fisik dan bersifat langsung. Meskipun sejatinya merupakan pemaksaan fisik dan langsung, namun oleh para pelaku sering tidak disadari sebagai pemaksaan dan sering dikatakan sebagai kesepakatan. 

Padahal, jika aturan ini dilanggar akan ada sanksi (hukuman) berupa resiko diskorsing, diberikan nilai rendah, dibatasi akses pelayanannya, hingga dikeluarkan dari sekolah. Pemaksaan tidak langsung berupa iming-iming imbalan saja tidak diperkenankan apalagi pemaksaan yang berkonsekuensi hukuman. 

Dalam perspektif demikian, adanya SKB ini bisa menjadi jaminan legal formal bagi siswa kita untuk terbebas dari praktek pemaksaan agama dan tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh pihak-pihak yang kurang memiliki kesadaran akan pentingnya menghormati keyakinan orang lain. 

Sesungguhnya, SKB tidak diperlukan jika nilai-nilai toleransi telah hidup dan dihayati oleh semua orang. Pendekatan hukum atau regulasi tidak diperlukan jika pendekatan kultural yang bersifat persuasif bisa menyelesaikan masalah. Nyatanya, kasus-kasus semacam ini muncul silih berganti dari waktu ke waktu. 

Lalu bagaimana dengan pelaksanaan prinsip religiusitas yang menjadi ciri bangsa kita terkait dengan isi SKB ini? Apakah pencabutan pewajiban berbusana keagamaan di sekolah umum akan menurunkan kualitas keyakinan (iman) dan ketaatan (taqwa) peserta didik yang menjadi salah satu tujuan Pendidikan? Berkaca dari fenomena umum yang terjadi di sekolah-sekolah umum negeri di Indonesia, pemakaian jilbab telah menjadi lazim sebagai seragam sekolah tanpa adanya aturan yang bersifat pewajiban. 

Yang berlaku umum adalah pilihan bebas dan suka rela bagi peserta didik untuk memakai seragam bercorak agama atau tidak. Fenomena menjamurnya pemakaian jilbab di sekolah umum negeri justru berkaitan dengan dicabutnya pelarangan pemakaian jilbab yang pernah ada pada dua dekade pertama Orde Baru. 

Dengan diterapkannya prinsip kesukarelaan, pemakaian jilbab berkembang secara kultural berdasarkan pada kesadaran diri peserta didik. Jilbab justru berkembang pesat bahkan menjadi gaya hidup yang tumbuh dari kesadaran religius hakiki. Bukan karena dipaksa-paksa. 

Walhasil, tidak ada alasan bagi kita untuk keberatan terhadap SKB ini. Wallahu a’lam.   

| Penulis adalah Ketua Komnas HAM periode 2016-2017, Rektor Institut Agama Islam Sahid.