Solarisasi Sawit, Siapa Untung, Siapa Buntung

Ilustrasi: net.
Ilustrasi: net.

LEWAT program B30 saja, PT Pertamina akan menyerap 10 juta ton minyak sawit dengan total nilai sebesar Rp 170 triliun. Sebuah pasar yang bersifat pasti karena bersifat wajib dan ditetapkan melalui regulasi pemerintah. Apalagi Pertamina banyak sekali duitnya. Pertamina juga punya program global bond hingga USD 20 miliar atau sekitar Rp 500 triliun. 

Dengan skeman ini, taipan sawit tidak perlu membangun industri pengolahan biodisel sendiri atau menjual minyak goreng campur solar sendiri. Ada Pertamina yang akan membeli. Dengan demikian, melalui penguasa, Pertamina bisa ditekan untuk membeli dengan harga berapapun.  

Bayangkan, pasar minyak sawit campur solar ini merupakan agenda transisi energi Indonesia pada pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pasar ini bersifat captive karena disediakan oleh negara. Agenda ini juga sekaligus untuk menyelamatkan para taipan sawit dari gempuran pemboikotan pasar Eropa dan negara lainnya. Sepanjang oligarki Indonesia masih kuat bertarung menghadapi agenda climate change, maka pasar minyak sawit Indonesia akan berjaya. 

Pasar ini akan naik nanti karena Pertamina akan menyerap lebih dari 35 juta ton minyak sawit untuk program B100. Kalau dikalikan dengan harga sekarang, maka nilainya mencapai Rp 521 triliun. Itu sama dengan separuh pendapatan pajak negara. Jika bisa dihindari, jangan sampai ada harga DMO minyak sawit dalam negeri, maka Pertamina harus tetap membeli dengan harga pasar. Dengan demikian, trader sawit tidak perlu menanggung risiko. 

Dengan pasar senilai Rp 500 triliun lebih, perusahaan trader sawit dapat melakukan IPO untuk mengalirkan uang besar dari pasar keuangan. Selain itu bisa menambah utang dalam jumlah besar dan dipercaya pemberi utang karena pasar bersifat pasti. 

Para trader sawit juga bisa meminta bagian dana subsidi iuran sawit yang sekarang dikumpulkan pemerintah untuk pembinaan pengusaha sawit. Maka selain mendapatkan pasar captive, mereka juga mendapatkan subsidi dari negara.

Hebatnya lagi, trader sawit bersifat oligopolistik. Mereka dapat mengatur harga sawit. Ini adalah sebuah keuntungan berganda. Bisnis model ini hanya perlu biaya untuk duduk menyeruput kopi dengan pembuat kebijakan. 

Memang mega proyek solarisasi Sawit ini bakal membuat Pertamina buntung. Sebab jika di dalam biodisel B30 maka ada 30 persen minyak goreng, maka berarti ada Rp 6.000 di dalam solar biodisel. Kalai harga bio diesel Rp 9.000, maka Pertamina menyubsidi Rp 2.700 atau, dalam bahasa lain, Pertamina rugi Rp 2.700. 

Nah, kalau kebutuhan minyak sawit Pertamina 10 juta KL, maka Pertamina rugi sebesar Rp 27 triliun. Tapi kerugian ini juga bukan masalah. Karena jika Pertamina bangkrut, pemerintah tinggal menyuntikkan dana segar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Toh sekarang, mengutip kata Sri Mulyani, penerimaan pajak melampaui target. 

Sedangkan para penguasa sawit dapat memikirkan langkah lanjutan dengan membangun industri otomotif yang khusus menyerap BBM jenis solar campur minyak goreng ini. Karena konon mesin yang ada sekarang agak kurang cocok dengan jenis BBM ini. Mereka cukup membuat regulasi bisnis otomotif untuk melengkapi kejayaan. 

Dengan pembangkit listrik Jokowi 70 persen batubara, ditambah keharusan Pertamina membeli 100 juta ton batubara sebagai pengganti LPG, dan sawit 30 juta ton untuk solarisasi sawit, pertemuan G20, yang mungkin dilakukan di Ibu Kota Negara baru. Dalam pertemuan ini, Jokowi dapat memamerkan keandalan batubara dan sawit Indonesia sebagai penopang energi nasional.

Sikap Uni Eropa yang tegas menyatakan bahwa pencampuran minyak goreng dengan solar atau bio diesel bukan merupakan agenda transisi energi, dan itu bukan pula jenis energi terbaharukan, abaikan saja. Jokowi harus cuek. Uni Eropa tak perlu membagikan uang USD 100 miliar sebagai biaya climate change di bawah penguasaan dan pengelolaan Indonesia. 

| Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia.