Staf Kemenkominfo: Tidak Ada Pasal Karet Dalam UU ITE

Hendri Subiakto. Foto: Irfan Habibi.
Hendri Subiakto. Foto: Irfan Habibi.

Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Republik Indonesia, Henri Subiakto, menegaskan tidak ada pasal karet di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 Tahun 2008. 


“Mengenai UU ITE tidak ada pasal karet. Seperti Kasus Saiful Mahdi, sudah jelas Saiful tidak melanggar UU ITE,” kata Hendri kepada wartawan di Banda Aceh, Kamis, 18 Februari 2021. 

Saiful Mahdi adalah dosen di Universitas Syiah Kuala. Dia divonis bersalah oleh majelis hakim pada Pengadilan Negeri (PN) dan divonis 3 bulan penjara. Saiful dinyatakan bersalah melanggar UU ITE setelah mengkritik rekan kerjanya di sebuah grup WA dosen fakultas teknik USK.

Namun dalam persidangan, kata Hendri, hakim tidak mempercayai pendapat bahwa Saiful tidak bersalah. Karena itulah, kata Hendri, yang menjadi masalah dari aturan UU ITE adalah  proses penegakan hukum, bukan aturannya. 

Menurut Hendri, kala itu Saiful hanya melontarka kritik terhadap internal lembaganya di grup whatsapp. Grup whatsaap, kata Hendri, bukan ranah publik. 

Jika niat Saiful saat melontarkan kritik itu untuk mencemarkan nama baik pelapor, maka Saiful akan menggunakan media sosial yang bisa akses lebih banyak orang. “Itu grup WA. Dosen lagi, kan itu akademik, itukan ilmiah,” kata Hendri. 

Presiden Joko Widodo, kata Hendri, pernah mengatakan pengambil kebijakan hukum jangan buru-buru untuk memproses aduan berdasarkan UU ITE. Jokowi, kata Hendri, meminta agar setiap aduan dikaji terlebih dahulu. 

Saat ini, muncul polemik setelah Jokowi melontarkan wacana untuk merevisi UU ITE. Suparji Ahmad, pengamat hukum Universitas Al Azhar Indonesia, mengapresiasi Presiden yang mau merevisi UU ITE. Namun dia mengingatkan agar proses tersebut melahirkan sebuah produk yang bermakna secara signifikan dan menjawab persoalan yang mendasar.

Sebagaimana ujaran Presiden yang menduga adanya persoalan ketidakadilan dalam menegakkan hukum sehingga harus diperjelas apa yang dimaksud dengan ketidakadilan penegakan hukum, apakah tebang pilih atau menyelamatkan teman sehingga harus segera diperjelas.

Suparji setuju dengan Jazilul mengenai pernyataan UU ITE tidak sesuai dengan kerangka awalnya yang mana UU ITE ini sebenarnya tujuan awalnya memperlancar transaksi elektronik tetapi malah mengembang menjadi informasi elektronik sehingga terjadi berbagai macam distorsi norma dan penegakannya.

“Sehingga banyak juga produk UU ini mengandung arti multitafsir” ujar Suparji. “Revisi itu harus menghasilkan undang-undang yang bersifat objektif dan rasional.”