Sumur Minyak Tradisinal di Aceh Timur Meledak Lagi, Dua Orang Terbakar

Sumur minyak di Aceh Timur meledak. Foto: ist.
Sumur minyak di Aceh Timur meledak. Foto: ist.

Sumur minyak tradisional kembali meledak di Gampong Mata Ie, Kecamatan Ranto, Kabupaten Aceh Timur, Sabtu, 19 Maret 2022.  


"Kebakarannya tidak besar dan apinya sudah dipadamkan tadi malam menggunakan armada pemadam BPBD," kata Kepala devisi Humas Polres Aceh Timur, AKP Agusman.

Akibat kejadian itu, dua orang mengalami luka bakar. Yaitu, Zainudin (38), warga Gampong Blang Barom dan Deni Kurniawan (49), warga Gampong Buket Pala, Kecamatan Ranto, Aceh Timur.

Keduanya mengalami luka bakar antara 20-30 persen. Korban tersebut sudah dibawa ke Puskesmas daerah setempat untuk mendapatkan perawatan medis. 

Pada 11 Maret lalu, sumur minyak yang terletak di Gampong (Desa) Mata Ie, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur juga pernah meledak. Tinggi api mencapai 20 meter.

Akibat dari peristiwa itu, satu orang tewas. Dan empat orang lainnya mengalami Lukas bakar.

Sebelumnya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Iskandar Usman Alfarlaky, menyayangkan sikap abai Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur yang menyebabkan ledakan sumur minyak di Gampong Mata Ie, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur. Insiden ini menyebabkan seorang pekerja meninggal dunia. 

“Saya minta kita semua fokus untuk menentukan penyebab kejadian ini,” kata Iskandar kepada Kantor Berita RMOLAceh, Sabtu, 12 Maret 2022.

Iskandar menyakini kejadian ini sama seperti insiden ledakan sumur minyak di Gampong Pasir Putih, Kecamatan Rantau Peureulak, 4 Mei 2018. Insiden itu menyebabkan 21 orang tewas dan 35 orang mengalami luka bakar. 

Saat itu, kata Iskandar, minyak yang menyembur bersama gas tidak sanggup ditampung. Hal yang sama juga mungkin terjadi pada ledakan di Gampong Mata Ie. Saat minyak dalam jumlah besar menyembur, masyarakat tidak memiliki alat yang memadai untuk menampung debit minyak itu dan memastikan keamanan pada radius 20-30 meter dari sumur minyak. 

Lantas, minyak yang tidak tertampung itu masuk ke selokan dan mengalir ke lokasi yang cukup jauh dari titik sumur. Hal ini sangat rawan. Dalam situasi seperti ini, pada radius 20-30 meter, sedikit saja percikan api dapat menyulut kebakaran hebat. 

Sejak insiden di Pasir Putih, Iskandar meminta pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten untuk mengedukasi pekerja dan masyarakat yang berada di sekitar sumur minyak. Termasuk, kata Iskandar, menyarankan kepada pemerintah untuk membantu masyarakat membentuk koperasi untuk menjalankan usaha ini secara legal. 

Lewat koperasi, para penambang minyak dapat beroperasi dengan lebih baik dan lebih aman. Iskandar mengatakan saat sebuah sumur mengeluarkan minyak dalam jumlah besar, dalam satu jam, mereka membutuhkan 100 drum minyak. 

Rata-rata di setiap sumur hanya memiliki sekitar 20 drum. Alhasil, minyak memuncrat tak bisa ditampung dan mengalir tak terkontrol ke tempat-tempat yang lebih rendah. 

Di sinilah potensi ledakan itu berasal. Para pekerja sangat memahami risiko bekerja dengan minyak, sehingga mereka tidak akan pernah merokok atau menyalakan mancis. Namun saat minyak tak tertampung, akan sangat sulit mengendalikan situasi di sekitar lokasi penambangan. 

Penambang minyak, kata Iskandar, secara mandiri tetap mengupayakan produksi minyak dengan cara-cara tradisional. Sedangkan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, kata Iskandar, tak pernah menganggap hal ini sebagai bagian dari sumber mata pencarian masyarakat yang seharusnya dilindungi. Mereka membiarkan sumur-sumur itu berstatus ilegal dan terus memakan korban jiwa.