Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Saiful Bahri mengatakan surat Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir kewenangan Pemerintah Aceh dalam memberikan izin investasi, termasuk dalam Penanaman Modal Asing (PMA). Surat Nomor: T-125/MB.05/SJN.H/2023 tentang pengelolaan pertambangan mineral dan batubara (Minerba) Pemerintah Aceh tersebut bukan produk hukum yang dapat dijadikan landasan hukum.
- OJK Aceh Tanggapi Wacana Revisi Qanun LKS
- Pengamat Sebut Tantangan Ekonomi Aceh Lebih Besar Dibanding Kemampuan Qanun LKS
- DPR Aceh Nilai Sikap DKPP Aneh terhadap Aduan Pelanggaran Etik Bawaslu RI
Baca Juga
"Surat itu bukan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2019 tentang pembentukan peraturan Perundang-undangan,” kata Pon Yaya dalam keterangan tertulis, di Banda Aceh, Rabu, 15 Februari 2023.
Menurut Pon Yaya, ihwal kewenangan Pemerintah Aceh tentang pemberian izin bagi investasi asing telah diatur dalam Pasal 165 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh (UUPA) Dengan demikian Aceh sebagai daerah yang diberikan kewenangan khusus sesuai dengan konstitusi Negara Republik Indonesia menguasai kewenangannya.
Selain itu, merujuk Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 91K/TUN/LH/2020, terkait izin pertambangan PT EMM (Emas Murni Mineral) di Beutong Ateuh.
Dalam putusan tersebut, MA telah menyatakan izin yang dikeluarkan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nomor: 66/I/IUP/PMA/2017 tentang persetujuan penyesuaian dan peningkatan tahap izin usaha pertambangan eksplorasi menjadi izin usaha pertambangan operasi produksi logam mineral dalam rangka PMA untuk komoditi emas kepada PT. EMM tertanggal 19 Desember 2017 telah dibatalkan.
"Putusan tersebut dikeluarkan oleh Mahkamah Agung setelah adanya pertimbangan tentang kewenangan izin pertambangan dari investasi asing di Aceh merupakan kewenangan Pemerintah Aceh, bukan kewenangan Pemerintah Pusat,” ujar pria yang akrab disapa Pon Yaya ini.
Pon Yaya mengatakan UUPA merupakan produk Hukum yang sah dan berlaku sesuai dengan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). UUPA juga merupakan solusi bagi konflik bersenjata di Aceh.
"UUPA merupakan turunan dari kesepakatan damai yang kita kenal dengan kesepakatan MoU Helsinki, oleh karena itu pengingkaran terhadapnya merupakan perbuatan yang melawan konstitusi (makar) dan juga merupakan musuh perdamaian,” sebut Pon Yaya.
Atas berbagai pertimbangan tersebut, kata Pon Yaya, DPR Aceh akan segera melakukan rapat bersama Pemerintah Aceh. Pihaknya juga akan meminta Sekretaris jenderal (Sekjend) Kementerian ESDM untuk mencabut surat yang mereduksi kewenangan Aceh sebagaimana disebutkan dalam UUPA secara tegas dan sangat jelas, terutama Pasal 156 dan Pasal 165.
- OJK Aceh Tanggapi Wacana Revisi Qanun LKS
- Pengamat Sebut Tantangan Ekonomi Aceh Lebih Besar Dibanding Kemampuan Qanun LKS
- DPR Aceh Nilai Sikap DKPP Aneh terhadap Aduan Pelanggaran Etik Bawaslu RI