Swasembada Versi Petani

ilustrasi. Foto: Amiga.
ilustrasi. Foto: Amiga.

KEBIJAKAN Pemerintah soal impor beras sebesar 500.000 ton atau 1,7 persen dari kebutuhan nasional, menuai pro kontra berbagai kalangan. Terlebih bulan Agustus kemarin, Indonesia menerima penghargaan atas keberhasilan sistem ketahanan pangan dari International Rice Research Institute (IRRI).

Kebijakan ini mencederai semangat swasembada pangan, terlebih dalih impor ini karena musim panen belum tiba dan harga beras di pasar jauh lebih tinggi daripada harga pembelian Pemerintah yakni Rp 8.300 per kilogram. Hal ini menjadi gambaran bahwa rantai pasok beras di negeri ini belum dikelola dengan baik. 

Berdasarkan pernyataan dari Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso atau Buwas, pemerintah menggelontorkan dana Rp 4,4 triliun untuk impor beras dari luar negeri, yaitu Vietnam, Thailand, Myanmar, dan Pakistan. Harga beras yang didapatkan dari tiga negara tersebut memiliki harga Rp 8.800/Kg, yang telah termasuk biaya pengiriman hingga ke gudang Bulog, Detik.com (Kamis, 22/11). 

Harga beras di pasar dan beras impor memiliki selisih Rp. 500/kg, dengan catatan harga beras impor tersebut sudah termasuk biaya pengiriman ke gudang Bulog. Pertanyaanya adalah apakah ongkos logistik/biaya pengiriman dalam negeri ini bisa lebih mahal (di atas Rp 500/kg), sehingga pemerintah lebih memilih untuk mengimpor beras. 

Penghasilan petani sendiri terutama petani gurem masih jauh dari yang namanya UMR/UMP/UMK, padahal jumlahnya mencapai 14,25 juta rumah tangga atau 55,33 persen dari rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan. Hitungan kami petani gurem yang memiliki lahan 2000 m2, dengan masa panen 4 bulan sekali memiliki pendapatan Rp 755.625/bulan (Harga Gabah Rp 4.000/Kg). 

Adapun sekarang ini, harga gabah kering panen Rp 5.500/Kg sehingga pendapatan petani Rp1.250.000/bulan. Pendapatan ini masih dibawah UMK Kabupaten Banjarnegara sebagai UMK terkecil di Provinsi Jawa Tengah yakni Rp 1.819.835. Apalagi dengan adanya impor beras yang tentu akan menurunkan harga gabah, sekaligus menurunkan pendapatan petani. Hal ini menjadi keprihatinan sendiri ditengah upaya pemerintah menaikan upah minimum akan tetapi disisi lain, penghasilan petani jauh dari yang namanya UMR.

Penting bagi pemerintah untuk memastikan penghasilan petani, agar orang-orang masih tertarik untuk bertani. Saat ini potret pertanian kita suram, menjadikan minat bertani menurun. Generasi muda atau yang populer disebut “milenial” keterlibatanya saat ini hanya pada sektor perdagangan komoditas, mereka tidak tertarik bercocok tanam. Maka, tidak sedikit orang pergi ke kota untuk menjadi buruh alih-alih hidup mandiri di desa. 

Ke depan, sudah menjadi sebuah keharusan tata kelola beras dibenahi. Mulai dari harga beli gabah petani (rentang harga Rp 5.500-Rp 6.000), harga beras hingga siklus serapan oleh Bulog. Bahkan kami berharap pemerintah mengelola beras seperti halnya mengelola BBM, di mana pemerintah mampu mengendalikan sepenuhnya. Begitupun soal pupuk, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam rantai usaha pertanian. Selain harga beli, ketersediaan pupuk bagi petani perlu ada jaminan. Sehingga petani tidak dibuat kebingungan atas sebuah kebijakan. 

Pupuk Organik

Melihat kondisi pertanian sekarang ini, petani kita sudah ketergantungan terhadap pupuk kimia. Bahkan tidak sedikit petani yang terus menerus menambah takaran penggunaan pupuk kimia ini dilahan kelola yang sama. Soal penggunaan pupuk ini, takarannya kemungkinan akan terus bertambah seiring waktu. Lantas, masihkah sehat tanah lahan pertanian ini? Hemat kami, pemerintah perlu segera mendorong penggunaan pupuk organik. Terlebih pupuk kimia ini menjadikan negara memikul beban subsidi yang tidak sedikit. 

Memang perlu sebuah komitmen bersama dalam menyikapi persoalan pertanian terutama soal tata kelola beras ini, jiwa nasionalisme setiap anak bangsa diuji di sini. Siapa yang ingin bangsa dan negaranya berdaulat, dan mana yang hanya ingin menuai keuntungan sendiri. 

Solusi dari Petani

Dikutip dari historia.id, Indonesia sendiri telah mencanangkan program swasembada beras sejak tahun 1952, kemudian swasembada beras ini sempat tercapai pada 1984 sampai 1988. Capaian ini berkat fokus kebijakan pemerintah kepada urusan beras, mulai dari Intensifikasi hingga perluasan lahan. 

Meski demikian, menurut kami pencapain tersebut terbilang semu. Mengingat hanya berlangsung dalam kurun waktu singkat, hal ini karena pondasi kebijakannya tidak kokoh. Apalagi setelahnya terjadi penurunan produksi, menunjukan ada hal yang salah dalam kebijakan tersebut. Di antaranya adalah penggunaan pupuk kimia yang memacu produksi untuk sementara, tetapi merusak kesehatan tanah. 

Memang ironis di negara tropis yang orang bilang tongkat kayu dan batu jadi tanaman belum mencapai swasembada, lebih dari itu penghasilan para petaninya jauh dari UMR. 

Maka solusinya, petani gurem harus ditingkatkan pendapatannya minimal Rp 2.000.000/bulan. Konsekuensinya harga beras di atas Rp 12.500/Kg dari petani. Walaupun kemungkinan harga impor lebih murah, akan tetapi orang akan tertarik kembali menanam padi dan swasembada beras akan tercapai. Kalau kebijakan pemerintah tidak revolusioner seperti kata Bung Karno, maka sektor pertanian tidak akan berubah dari tahun ke tahun. 

“Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa. Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi, maka akan terjadi malapetaka. Oleh karena itu, perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner,” kata Ir. Soekarno. 

Pemerintah juga perlu meningkatkan anggaran yang berpihak kepada sektor pertanian, meskipun sektor pertanian dalam APBN masuk dalam urusan pilihan sesuai dengan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) menggantikan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. 

Berbeda dengan sektor pendidikan yang masuk dalam urusan wajib, terlebih UUD 1945 pasal 31 ayat (4) dan UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 ayat (1) mengamanatkan tentang alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD. Begitupun dengan sektor kesehatan mendapatkan alokasi 5 persen dari APBD sesuai dengan amanat UU 36/2009 tentang Kesehatan. 

Penting ke depan APBN dan APBD ini berpihak kepada sektor pertanian, sebagai wujud apresiasi negara kepada petani dan keseriusan dalam mencapai swasembada pangan. Sejahteranya petani, akan mendorong kemandirian bagi semua dan kedaulatan bagi bangsa dan negara. 

Jika memang semangat pemerintah adalah agar bisa swasembada beras, maka perlu dibangun perencanaan yang komprehensif. Tidak perlu banyak badan atau unit kerja, yang terpenting adalah memahami fungsi dan tugas masing-masing. Melihat kondisi sekarang yang menjadikan kita harus impor beras, paling tidak ada dua hal. 

Pertama, perencanaan CBP dalam hal ini pembelian/penyerapan perlu diperbaiki. Fahami kapan membeli gabah dan kapan seharusnya mengeluarkan cadangan gabah atau berasnya. 

Kedua, pembelian hasil pertanian oleh Bulog harus efisien, sehingga akan menekan ongkos transportasi/logistik. Misal, kalau gudang Bulog di Jawa Tengah, yah belinya dari petani Jawa Tengah jangan dari petani Banten apalagi dari tengkulak Jakarta. 

Selain harga beli gabah ditingkat petani, terkait dengan lahan sawah juga perlu perhatian. Meski sudah ada peraturan yang melindungi soal lahan sawah, implementasinya masih jauh. Provinsi Jawa Tengah saja dari 35 Kabupaten/Kota, hanya Kabupaten Temanggung yang memiliki data spasial penetapan lahan sawah. 

Dorongan ini harus dilakukan oleh semua pihak, agar petani tidak terus menerus dirugikan. Swasembada pangan adalah tujuan bersama, maka dari itu mari kita sama-sama wujudkan. Menjadikan Indonesia swasembada pangan, berarti memastikan kehidupan bangsa ini untuk selama-lamanya.

| Penulis adalah Ketua Komisi B DPRD Provinsi Jawa Tengah.