Tak Harus Berubah


RABU malam lalu, saya mendapat pesan dari seorang kawan yang mengatakan dia berada di Banda Aceh. “Ngopi yuk.” Saya senang membaca pesan whatsapp itu. Sudah lama sekali rasanya tidak dikunjungi kawan dari jauh.

Dia tinggal di sebuah hotel tak jauh dari kantor Kepolisian Daerah Aceh. Saya menjemputnya dengan kereta supra x biru, yang setia menemani sejak 2007. Setelah menanyakan kabar, kami membelah malam yang mulai gerimis ke sebuah warung kopi di Simpang Lima. 

“Di sini, kencing aku sudah bau kopi.” Aku hanya tertawa mendengar pernyataannya. 

Kawan jauh tadi adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara. Dia datang bersama rekan-rekannya. Tapi mereka menetap di hotel berbeda. Sebagian besar mereka menetap di hotel paling besar di Banda Aceh. 

Dia memilih untuk tidak menggunakan semua uang perjalanan dinas untuk mengongkosi kebutuhan hidup selama di Banda Aceh. 

Di hotel murah itu, dia hanya menghabiskan uang tak sampai Rp 200 ribu untuk tidur dengan sangat layak. Dia berujar, cara ini membantu dia untuk berhemat. Apalagi, ada aturan yang memperbolehkan mereka menggunakan sisa uang yang dialokasikan untuk menginap. 

Dari perjalanan dinas, kata dia--namanya tak usahlah saya sebutkan, tak elok--dia bisa menyimpang uang uang cukup untuk menjamu para pemilih saat pulang ke daerah pemilihan. Dia memang lebih banyak menghabiskan waktu di daerah pemilihan ketimbang di Medan, Sumatera Utara. 

Dia juga tak keberatan dengan fasilitas yang minim. Toh kehidupannya selama ini juga biasa-biasa saja. Menjadi anggota DPRD tak lantas mengubah diri menjadi orang elit yang harus mendapatkan fasilitas nomor satu. Kami cerita tentang banyak hal malam itu. 

Termasuk tentang dicoretnya ribuan rumah duafa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Aceh dari daftar Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh 2021. Dan pagi ini, saya membaca betapa kebahagiaan Ismail, 74 tahun, saat mendengar akan menerima bantuan rumah dari Bank Aceh atas rekomendasi Gubernur Aceh. 

Andai rekomendasi ini juga dilakukan terhadap ribuan rumah duafa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh 2021, betapa banyak orang-orang seperti Pak Ismail yang akan tersenyum bahagia. Betapa besar cinta yang akan didapat para pemimpin dari rakyat mereka.  

Hujan semakin lebat. Kami juga berbicara tentang besar dana pokok pikiran yang dikelola oleh anggota DPR Aceh. Tentang miliaran uang yang seharusnya bisa menjadi alat untuk membantu mengangkat kesusahan masyarakat Aceh. 

Kami bercerita tentang perubahan status sosial tidak perlu menjadi alasan untuk memaksakan diri menjadi orang lain. Sehingga tak ada keinginan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hati nurani. 

Menjadi pejabat tidak harus memaksakan diri mengendarai kendaraan bagus atau tinggal di hotel-hotel mewah. Sehingga, ujung-ujungnya, harus mengorbankan kepentingan orang lain. 

Malam itu kami menikmati sanger espresso, mie Aceh dan kelapa jeli. Saya tak bisa mengantarkannya ke hotel. Hingga nyaris tengah malam, hujan tak mereda. Akhirnya dia pulang naik Grabcar, saya tetap pulang di atas si biru.

Malam itu saya sangat senang. Dunia memang berubah. Tapi pada sebagian orang tidak. 

| Penulis adalah wartawan.