Tak Setujui Pilkada 2022, Pengamat: Jakarta Memang Tak Pernah Ikhlas pada Aceh

Bendera partai politik di Aceh menjelang pemilihan umum. Foto: ist.
Bendera partai politik di Aceh menjelang pemilihan umum. Foto: ist.

Pengamat politik Univeristas Muhammadiyah (Unmuha) Aceh, Taufiq A Rahim, menilai penundaan tahapan Pemilihan Kepala Daerah Aceh 2022 membuktikan kelalaian Pemerintah Aceh dan Komisi Independen Pemilihan Aceh. Dua lembaga ini seharusnya bertanggung jawab untuk menjalankan proses demokrasi politik di Aceh, sesuai jadwal.


Taufiq mengatakan KIP Aceh menunda tahapan Pilkada Aceh 2022 lantaran tidak adanya anggaran. Sementara menurut Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) Pasal 65 dan didukung Pasal 73, bahwa sirkulasi Pilkada berlangsung lima tahun sekali.

"Jika ditunda dengan alasan tanpa anggaran dana, bahkan pernah diusulkan dan dimasukkan ke dalam anggaran Bantuan Tidak Terduga (BTT), ini adalah salah besar dan kebodohan luar biasa,” kata Taufiq kepada Kantor Berita RMOLAceh, Senin, 5 April 2021.

Menurut Taufiq, sejak awal dia menilai janggal keputusan untuk meletakkan anggaran pilkada dalam anggaran BTT. Merujuk pada aturan, anggaran itu hanya bisa disalurkan untuk bencana alam dan bencana sosial. 

Taufiq menduga sejak awal ada pihak yang merekayasa agar pilkada di Aceh gagal. Semua ini, kata Taufiq, diatur berdasarkan tekanan politik tertentu dan niat politik busuk pihak-pihak tertentu sehingga untuk menjalankan proses pilkada tidak tersedia anggaran.

Taufiq mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh lebih dari Rp 17 triliun. Anggaran untuk yang ditempatkan dalam item belanja rutin pegawai dilakukan setiap tahun dengan cara menyalin anggaran lama menempelkannya di dalam anggaran baru. Angka tersebut, setiap tahun, berjumlah lebih sekitar Rp 830 miliar. Sedangkan anggaran untuk melaksanakan pilkada hanya sekitar Rp 214 miliar.

Taufiq mengatakan upaya menunda atau menggagalkan Pilkada Aceh 2022 merupakan tidak politik amoral. Penundaan ini dirancang untuk kepentingan orang, kelompok, dan partai politik tertentu. Pelakunya, kata Taufiq, tidak tidak menghargai UUPA sebagai kekhususan Aceh; buah dari Perjanjian Damai Helsinki. 

Di sisi lain, saat kepentingan itu membutuhkan UUPA, maka pihak-pihak tersebut menggunakan aturan khusus itu sebagai tameng kepentingan. 

Menurut Taufiq, kegagalan pelaksanaan Pilkada Aceh 2022 gagal menyerupai kejadian Ikrar Lamteh jilid 2. Saat itu, Aceh tidak lagi memiliki kekhususan lagi karena ditipu oleh elite politik di Aceh dan Pemerintah Indonesia. 

“Jakarta tak pernah ikhlas jika Aceh menjalankan pemerintahan sendiri. Itu terjadi sejak dulu,” kata Taufiq.