Tangkap Pengguna Trawl di Aceh Timur, KuALA Minta KKP Serius Atasi Perusakan Laut Aceh

Ilutrasi nelayan menggunakan pukat trawl. Foto: net
Ilutrasi nelayan menggunakan pukat trawl. Foto: net

Sekretaris jendral jaringan Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA), Gemal Bakri, mengatakan penangkapan nelayan diduga menggunakan Trawl oleh Pengawas Perikanan Hiu 08 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP-RI) di perairan Aceh Timur perlu mendapatkan perhatian dan keseriusan. 


“Penangkapan patut diapresiasi. Namun juga perlu mendapatkan perhatian karena masih banyak kapal menggunakan alat tangkap dilarang," kata Gemal, dalam keterangan tertulis, Rabu, 8 September 2021.

Selain melanggar ketentuan Undang-undang, kata Gemal, hal itu telah menjadi keresahan masyarakat dan nelayan kecil. Karena kerap beroperasi di areal tangkapan nelayan tradisional.

Menurut Gemal, apabila kapal-kapal Trawl tersebut dibiarkan, sangat besar kemungkinan hilangnya habitat-habitat ikan yang menjadi mata pencaharian nelayan-nelayan kecil. 

Gemal mengatakan penggunaan jaring trawl merupakan sekelumit masalah perikanan Aceh. Hal itu belum mampu diselesaikan secara serius oleh pemerintah. "Karena tidak ditangani secara serius oleh Pemerintah Aceh," kata Gemal.

Kondisi itu, kata Gemal, dimanfaatkan oleh pelaku usaha dengan cara meningkatkan skala usaha dan upaya penangkapan. Walaupun penggunaannya bisa dipastikan beririsan dengan wilayah penangkapan nelayan kecil.

Menurut Gemal, penggunaan trawl terkesan ada pembiaran oleh pihak yang berwenang. Sehingga potensi kehilangan habitat ikan sangatlah besar. 

"Sudah sangat jelas terlihat bahwa aktivitas kapal trawl baik di pesisir timur maupun pesisir barat Aceh sebenarnya telah mengganggu mata pencaharian nelayan-nelayan kecil," kata Gemal.

Seperti yang terjadi di kawasan Kuala Bugak Aceh Timur, kata dia, nelayan di sana menggantungkan hidupnya sebagai pencari udang. Kini, mereka suda merasakan dampak buruk dari aktivitas kapal-kapal trawl tersebut. 

Gemal menjelaskan kapal-kapal besar ukuran 20 GT telah beroperasi selama bertahun-tahun dan perlahan-lahan telah menekan aktivitas nelayan kecil di sana. Pada akhirnya, kata dia, nelayan kecil terusir dari wilayah kelola adat laut.

Menurut Gemal, dengan jumlah kapal dan tekanan yang sangat besar, Panglima Laot seharusnya memiliki kewenangan mengatur tata tertib penangkapan ikan. Sayangnya, Panglima Laot tidak bisa berbuat banyak.

Berdasarkan data KuALA, kata Gemal, hal tersebut telah terjadi berulang-ulang kali. Seperti yang terjadi di Aceh Timur, Aceh Barat dan Nagan Raya. 

Gemal menharapkan dengan adanya pengak hukum seharusnya bisa memberikan efek jera kepada kapal pengguna trawl. Sehingga kejadian yang tidak diharapkan, tidak akan terjadi.

"Masyarakat hanya menuntut keadilan bagi mereka yang terdampak dan tidak mampu bersaing, karena tidak bisa melaut lebih jauh sebab armada mereka yang rata-rata di bawah 3 GT," kata Gemal.

Gemal mengharapkan dengan penangkapan kapal pengguna trawl dapat menjadi momentum mengbangkitkan semangat dalam memberantas kerusakan laut.

Menurut Gemal, nelayan kecil di dalam kawasan pengelolaan adat panglima laot dan pemerintah dapat membagun kembali kepercayaan masyarakat. Bahwa, laut Aceh adalah berdaulat, sebagaimana nelayan-nelan kita menaati aturan adat larangan melaut di hari Jumat. 

Bila terbukti KM. Lesmana dan KM. Budi Jaya melanggar aturan adat laot, kata Gemal, maka sudah selayaknya kedua kapal ini diproses secara adat. 

“Panglima Laot juga harus memanggil pemilik kapal dan menyelenggarakan sidang adat laot. Bahkan memberikan sanksin sesuai kearifan lokal. Jangan sampai hanya anak buah kapal (ABK) saja yang menjadi korban," kata Gemal.