Teguh Santosa: Karya Akademik dan Jurnalistik Berangkat dari Hal Yang Sama

Ketua Umum JMSI dan CEO RMOLnetwok, Teguh Santosa. Foto: RMOL.
Ketua Umum JMSI dan CEO RMOLnetwok, Teguh Santosa. Foto: RMOL.

Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia, Teguh Santosa, mengatakan terdapat kemiripan karakteristik antara karya akademik dengan karya jurnalistik. Kedua-duanya, kata Teguh, berangkat dari fakta.


"Pekerjaan sebagai wartawan, karya jurnalistik itu sifatnya sama dengan dunia akademik," kata Teguh Santosa dalam diskusi vertual Dialog Publik dengan tema "Peran Media dan Dunia Pendidikan Menangkal Berita Hoax dan Radikalisme", Sabtu, 19 Juni 2021.

Teguh mengatakan fakta itu lantas diungkapkan lewat tulisan. Sementara perbedaannya, karya akademik butuh proses pengungkapan dan penelitian lebih lama. 

Satu teori bisa diperbaharui mungkin satu tahun, mungkin lima tahun, mungkin beberapa tahun kemudian.

Sementara dalam jurnalistik, proses untuk memperbaharui informasi ini terjadi dalam waktu yang sangat singkat.

Teguh mengatakan sebelum era broadcasting, memang pembaruan informasi pada jurnalistik membutuhkan waktu, setidaknya, 24 jam. Karena pengabarannya hanya melalui koran atau surat kabar cetak.

Tetapi, di era kekinian pembaharuan informasi jurnalistik sudah semakit cepat. Tepatnya dimulai saat perkembangan jurnalistik radio, televisi, dan sekarang media siber.

"Kemudian datang jurnalisme radio, mereka melakukan pemberitaan yang sifatnya kurang dari 24 jam, kemudian ada ada televisi," kata Teguh.

Di sisi lain, Teguh juga berpesan kepada masyarakat khususnya pengguna media sosial, harus proaktif dalam memastikan satu informasi yang beredar adalah kabar yang benar atau sebaliknya kabar bohong (hoax).

Dia mengingatkan bahwa terkadang informasi yang ditemukan di media sosial itu juga terusan dari media massa berbasis internet.

Karena itu, kata Teguh, pembaca juga harus bersikap mau memverifikasi saat menemukan berita yang diragukan kebenarannya. Pembaca, kata dia, harus mulai mencari tahu soal kredibilitas media massa yang memuat berita yang disebarkan itu.

"Kita lihat link berita ini, dari media massa apa? Jadi kita buka dulu medianya, kita kenali apakah dia memiliki pengelola yang jelas, alamat yang jelas, buka bagian 'tentang kami' atau redaksi, ada enggak identitas siapa yang buat," kata Teguh.

Pembaca bisa juga mengecek legalitas dari media massa pada website Dewan Pers. Untuk memastikan lagi kita bisa berkunjung ke website Dewan Pers, untuk mengetahui apakah media massa itu sudah terverifikasi, sudah terdaftar atau belum," kata Teguh.

Teguh mengakui bahwa hal itu memang merepotkan. Namuh verifikasi itu perlu dilakukan pembaca ketika ragu pada kebenaran suatu berita.