Tenggelamnya KMP Gurita dalam Kenangan

KMP Gurita. Foto: Ist.
KMP Gurita. Foto: Ist.

Tenggelamnya KMP Gurita menjadi peristiwa tak terlupakan bagi masyarakat Aceh, khususnya warga pulau Weh Sabang. Kejadian yang terjadi pada 19 Januari 1996 tersebut menjadi duka yang mendalam bagi korban selamat dan keluarga korban yang meninggal dunia.


Usman, salah seorang warga Gampong Balohan, Sabang bercerita bahwa KMP Gurita yang membawa 387 orang penumpang tersebut berangkat dari pelabuhan Malahayati, Aceh Besar pada hari Jumat, 19 Januari 1996.

Sebagian dari penumpang kapal saat itu berencana pulang kampung, karena hari Meugang sudah di depan mata. Puasa pertama bulan Ramadhan saat itu jatuh pada 22 Januari tahun 1996.

Kapal Pabrikan Bina Simpaku Jepang itu seharusnya tiba di pelabuhan Balohan pukul 21.00 WIB. Namun sampai malam berlalu, kapal tak kunjung berlabuh di pelabuhan Sabang.

"Dari berbagai cerita yang saya dapat, memang semula tidak terlihat keanehan saat penumpang memasuki kapal,” ujar Usman kepada Kantor Berita RMOLAceh, Kamis 19 Januari 2023.

Akhir sanak saudara telah menantikan kerabat menerima kabar dari otoritas pelabuhan Balohan bahwa KMP Gurita yang dibuat sejak tahun 1970 tersebut telah tenggelam. KMP Gurita tenggelam di jarak enam mil laut dari perairan Teluk Balohan.

Dalam peristiwa tenggelam KMP Gurita sebanyak 284 orang dinyatakan hilang, 54 orang meninggal dunia, lalu 40 orang lainnya dinyatakan selamat.

Menurut Usman, saat itu ada sekitar 387 orang penumpang di atas kapal. Dari jumlah tersebut, 282 orang merupakan warga Sabang, sedangkan 200 lainnya warga luar Sabang dan 16 orang warga negara asing.

“KMP Gurita sejatinya hanya mampu menampung 210 penumpang, namun saat itu jenis kapal Roro ini membawa penumpang sebanyak 378," ujar Usman yang pada saat kejadian berada di Pelabuhan Balohan dan melihat kepanikan sejumlah kerabat penumpang.

KMP Gurita juga dipaksakan mengangkut barang berat yang jumlahnya mencapai hingga 50 ton. Barang tersebut mulai dari 10 ton semen, delapan ton Bahan Bakar Minyak (BBM), hingga 15 ton lainnya merupakan tiang beton listrik.

KMP Gurita saat itu juga mengangkut berbagai bahan sandang serta papan, belum lago belasan transportasi darat milik penumpang. Memang muatan berat sudah sering masuk ke kapal KMP Gurita tapi saat itu banyak warga Sabang yang ikut kembali ke kampung halaman.

Peristiwa tenggelamnya KMP Gurita telah 27 tahun berlalu. Namun bangkai kapal yang ada di dasar teluk Balohan Sabang tidak pernah berhasil diangkat.

KMP Gurita dalam Kenangan Ucok Sibreh

Tragedi KMP Gurita menyisakan luka dan pengalaman traumatis bagi korban selamat dan keluarga korban yang meninggal dunia. 

Muhibbuddin Ibrahim adalah salah seorang dari 40 penumpang yang selamat. Pria yang akrab disapa Ucok Sibreh ini berhasil selamat dari kecelakaan maut KMP Gurita. Saat itu dia Haqqul yakin, tanpa ragu melompat dan berpegangan pada pelampung selama 17 jam lamanya.

“Hari itu, Jum’at tanggal 19 Januari tahun 1996, saya dan rekan bernama Indra, kami berencana pergi ke Sabang untuk satu urusan sekaligus liburan,” ungkap Ucok membagikan kisahnya melalui sosial media pribadinya.

Saat itu Ucok dan Indra yang masih berusia 17 tahun, duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Untuk menyeberang ke Pulau Weh, Sabang dia memilih menggunakan KMP Gurita yang saat itu satu-satunya transportasi yang dapat membawa mereka ke pulau paling barat Sumatera tersebut.

Ucok dan Indra berangkat sore, membeli tiket penumpang lalu naik ke atas kapal. Mereka terdaftar sebagai penumpang resmi untuk berlayar.

“Saat matahari mulai tenggelam, sekitar pukul 18.45 WIB, kapal berangkat dari pelabuhan Malahayati menuju Balohan,” ujar Ucok.

Ucok menceritakan, malam itu dia berada di buritan kapal dan melihat air menghantam keras bagian depan kapal. Air semakin mendekati mereka. Harapan penumpang sirna, kapal tidak jadi berlabuh membawa penumpang.

Malam pilu itu terjadi pada pukul 20.30 WIB. KMP Gurita tenggelam. Indra lalu mengajak Ucok untuk bergegas menyelamatkan diri dengan melompat ke laut. Nasib malang menimpa Indra, sahabatnya tersebut hilang tanpa disadari, sebab belum bisa berenang.

“Sekuat tenaga, saya saat itu terlempar jauh dari kapal, berusaha berenang kesana sini menggapai apa saja,” ujarnya.

Waktu berlalu, bak mujizat Ucok akhirnya mendapat pertolongan dari anak buah kapal bernama Adi. Penolong itu memberinya pelampung kapal.

17 jam berlalu di tengah laut,  Ucok terkatung-katung. Namun dia berputus asa, walau perut terasa lapar dan haus, badannya mulai letih.

“Saya dan petugas kapal akhirnya selamat. Kami ditemukan oleh kapal tanker laju perkasa 4 yang saat itu sedang lewat,” kenangnya.

Berhasil selamat, Ucok merasa hal tersebut merupakan pertolongan dari Allah SWT. Dirinya kemudian bersujud syukur karena telah selamat dari kecelakaan maut.

“Saat itu terpanjat syukur berkali-kali, Alhamdulillah,” tutur Ucok dengan suaranya parau, mengenang tragedi pilu.