Tentang Pilkada, Nasir Djamil Sebut Aceh Hanya Bisa Menunggu Keputusan Pemerintah Indonesia

Bendera partai politik di Aceh menjelang pemilihan umum. Foto: ist.
Bendera partai politik di Aceh menjelang pemilihan umum. Foto: ist.

Anggota DPR RI, Muhammad Nasir Djamil, mengatakan saat ini Aceh hanya bisa menunggu keputusan Pemerintah Indonesia mengenai pelaksanaan Pilkada di Aceh. DPR RI juga memiliki pandangan beragam terkait perhelatan politik tersebut. 


“Ada yang mau melaksanakannya secara normal. Ada yang mau tahun 2024. Bahkan ada yang mengusulkan kepada KPU agar Pilkada dilaksanakan pada 2026,” kata Nasir kepada Kantor Berita RMOLAceh, Ahad, 7 Februari 2021. 

Isu pilkada menjadi salah satu topik pembahasan yang terus dibicarakan. Terutama terkait dengan waktu pelaksanaan yang semakin dekat. Sesuai Undang-Undang Pemerintah Aceh, Pilkada Aceh harus digelar pada 2022. 

Saat ini, opini terbelah. Ada yang mempertahankan, sesuai dengan Undang-Undang Pemerintah Aceh Nomor 11 Tahun 2006, atau mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 mengenai Pelaksanaan Pilkada 2024.

Namun Nasir berharap agar pilkada di Aceh dapat terselenggara dengan aman dan damai. Terutama untuk melahirkan pemimpin yang berpihak pada kepentingan rakyat Aceh juga dapat mengatasi kemiskinan serta masalah sosial lainnya.

Di tempat terpisah, Reza Hendra Putra, Presiden Mahasiswa UIN Ar-Raniry, menyatakan bahwa untuk saat ini pihaknya masih melihat situasi terkait pro kontra pelaksaan Pilkada Aceh. Namun ia berharap nantinya saat Pilkada diselenggarakan masyarakat harus cerdas dan jeli dalam memilih calon pemimpin jangan dibutakan oleh iming-iming anggaran atau sesuatu.

“Semoga Pilkada nanti berjalan aman dan kondusif serta sportif juga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh” ujar Reza. Sedulurnya di Universitas Syiah Kuala, M Zaki Naufal, Wakil Ketua BEM USK, mengatakan Aceh harus memiliki ketegasan. 

Para pemimpin di Aceh, kata dia, harus berani mengambil keputusan sesuai dengan aturan yang berlaku di Aceh. “Jangan sampai kekhususan Aceh diabaikan untuk mengakomodir kepentingan pusat,” kata Zaki.