Terjerat Ilusi Dunia Digital


TIMPANG! Keberadaan teknologi digital menghadirkan sisi baik-buruk secara bersamaan. Manusia berhadapan dengan kompleksitas pilihan yang tidak mudah.

Pada periode awal, teknologi dijadikan sebagai alat bantu bagi kehidupan manusia. Selanjutnya teknologi berperan dalam membentuk relasi serta konstruksi peradaban sosial. Pelik nan rumit, interaksi manusia dan kehidupan digital bukan perkara enteng.

Begitu uraian buku Digital Dilemma 2: Terjerat pada Ilusi Dunia Penuh Kesempurnaan, 2021, karya Firman Kurniawan. Sebagaimana buku terdahulunya dengan judul yang sama, Firman telah menganalisis hal-hal apa saja yang menjadi permasalahan terbaru dari proses adopsi media digital di Indonesia.

Pada sekuel bukunya kali ini, digambarkan bagaimana perspektif utuh kita melihat keberadaan teknologi digital yang tidak hanya menjadi perangkat serta perkakas, tetapi juga berubah masuk ke ruang budaya dan perilaku. Substansi dasarnya dari tawaran kehidupan digital terilustrasi melalui perspektif impian optimistik yang ideal (utopia) berhadapan dengan sudut pandang pesimistik dan skeptis (distopia).

Celah di antara dua himpitan tawaran tersebut adalah ruang negosiasi sekaligus kompromi dari interaksi manusia dan teknologi yang diciptakannya. Lebih jauh lagi, Firman mengurai berbagai konteks dan level dari dampak difusi teknologi dalam sendi-sendi kehidupan manusia, baik pada tingkat mikro (individu) hingga makro (skala sosial).

Tidak ada jalan pintas, begitu pula tidak ada jalan balik untuk kembali ke masa lalu. Kehadiran teknologi dan digitalisasi kehidupan adalah sebuah keniscayaan secara deterministik. Hal itu merupakan implikasi logis dari berkembangnya kehidupan modern, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dalam memecahkan persoalan praktis manusia.

Melalui bukunya, Firman memaparkan konsekuensi-konsekuensi yang berjalan selaras dengan proses adopsi dan adaptasi teknologi digital dalam kehidupan manusia. Posisi yang dibangun dari hasil pemikiran dalam buku tersebut, mengisyaratkan perlunya penyusunan ulang serta pencermatan atas kondisi proyeksi kehidupan di masa mendatang.

Solusi sebagai jalan keluarnya, akan sangat tergantung dari pilihan manusia, baik di ranah privat maupun sebagai bagian publik, dalam sistem jejaring sosial secara bersama. Situasi yang dijelaskan dalam buku itu, beririsan dengan pemikiran Neil Postman, Teknopoli: Budaya, Saintisme, Monopoli Teknologi, 2021, yang menyebut bahwa teknologi pada puncaknya akan mendikte kehidupan manusia, tidak hanya memonopoli namun sampai pada tahap final mendominasi secara mutlak.

Meski begitu, Firman tidak terjebak dalam relung refleksi yang dramatis akan dampak buruk dunia digital. Bahwa ada hal-hal negatif yang ditimbulkan oleh teknologi digital adalah hal yang tidak bisa diabaikan, perlu dievaluasi Tetapi juga perlu dicatat bila terdapat pencapaian-pencapaian baik dari kehidupan di era online yang juga belum pernah ada di babak kesejarahan sebelumnya.

Di titik tersebut, kesadaran manusia perlu ditumbuhkan, dikembangkan, serta dirawat agar tidak mengubahnya sebuah kehidupan yang mekanistik, dan sebaliknya diharapkan mampu menghidupkan nilai humanistik penuh perikemanusiaan. Tantangan umat manusia dimulai dari berbagai perubahan peradabannya, termasuk di kondisi aktualnya melalui jagat digital.

Dibutuhkan ketercerahan akal budi dan rasionalitas, agar teknologi menjadi sarana akselerasi bagi kehidupan manusia yang lebih baik, serta mereduksi potensi dampak negatif yang mungkin dihasilkannya. Literasi dibutuhkan agar kita tidak semakin dalam terjerat dalam ilusi yang dimunculkan di dunia teknologi digital.

Kita tidak perlu menjadi kelompok tersisih sebagaimana luddite yang dikenal sebagai para pekerja tenun Inggris yang menghancurkan mesin-mesin pemintal benang di abad-19 sebagai bentuk ekstrem penolakan teknologi. Perlu disadari, teknologi secara dinamis merupakan hasil karya manusia yang tidak terelakkan. Perlu cara-cara baru dalam berhadapan dengan kemajuan tersebut.

Ini bukan soal senjata. Ini adalah tentang siapa yang memegang senjata itu sendiri, itulah kita umat manusia dalam persilangan hidupnya.

| Penulis adalah mahasiswa program doktoral ilmu komunikasi Universitas Sahid.