Tiga Hal Utama Perbaikan Polri

Ilustrasi. Foto: net.
Ilustrasi. Foto: net.

SETIAP momen pahit, kata bijak Bestari, pastilah membawa kita kepada hal yang baik. Ada cahaya di tengah gelap. Ada "a blessing in disguise", berkah terselubung. Itu berlaku bagi peristiwa apapun, termasuk yang akhir-akhir sedang dialami oleh Kepolisian Republik Indonesia.

Namun datangnya hal baik di tengah musibah itu tentunya bersyarat. Syaratnya adalah mau mengakui kesalahan dan mau melakukan evaluasi secara terus menerus. Percaya bahwa perubahan akan terjadi meskipun dengan upaya yang terlihat defying the odds, atau nampak sulit dilakukan tetapi bisa terwujud.

Kasus Sambo, tragedi Kanjuruhan, drama memilukan jual beli barang bukti kejahatan, adalah pukulan yang teramat menyakitkan bagi tubuh Polri. Semuanya harus dianggap cukup, diakhiri, dan menjadi momentum bagi reformasi institusi.

Diantara banyaknya usul yang masuk terkait reformasi institusi setidaknya ada tiga hal utama yang dapat dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia dalam waktu dekat. Tiga hal utama itu terdiri dari proses seleksi, penguatan kemampuan hukum, dan penerapan sistem meritokrasi.

Proses Seleksi

Sejauh ini sistem penerimaan Calon Anggota Polri perlu diakui semakin mengalami perbaikan. Istilah 'main uang' atau 'ketebelece' bisa dinilai semakin minim atau bahkan nihil. Kemajuan akan tansparansi itu telah diakui pula oleh Sahapat Polisi Indonesia dengan memberikan SPI Award pada tahun 2022 kepada Kombes (Pol) I Ketut Yudha Karyana.

Kombes Yudha dinilai membuat proses rekrutmen dan penerimaan Calon Anggota Polri di wilayah Sulawesi Selatan menjadi lebih transparan.

ADVERTISEMENT

Ibarat pribahasa tiada gading yang tak retak, hal itu pun terjadi dalam seleksi penerimaan Calon Anggota Polri. Pada pertengahan tahun 2022 publik digegerkan dengan viralnya video pemuda bernama Fahri Fadilah yang gagal lolos seleksi Calon Anggota Polri.

Fahri merasa heran karena dirinya dicoret menjelang pendidikan bintara Polri setelah sebelumnya dinyatakan lolos seleksi dengan ranking ke-35 dari ribuan pendaftar.

Geger Fahri itupun mereda setelah Mabes Polri kemudian melakukan klarifikasi. Fahri, yang namanya telah lolos seleksi, menurut Mabes Polri harus digantikan oleh peserta lainnya karena dirinya diketahui buta warna.

Meskipun prahara Fahri akhirnya berakhir tetapi rasa penasaran masyarakat masih tinggi. Stigma sulitnya masuk polisi di masyarakat tetap melekat dalam ingatan masyarakat.

Untuk menjawab hal ini Kepolisian Republik Indonesia rasanya harus mulai berani untuk melakukan rekrutmen Calon Anggota Polri dengan sistem CAT, seperti model penerimaan CPNS dan PPPK. Sistem tes langsung yang nilainya dapat dilihat secara real time.

Selanjutnya Kepolisian Republik Indonesia juga mesti terbuka untuk melibatkan pihak ketiga sebagai pihak penyeleksi dalam tahapan-tahapan Calon Anggota Polri setelah tes kemampuan akademik, seperti tes kesehatan, psikologi, dan lainnya.

Penguatan Substansi

Menurut Friedman sistem hukum terbagi menjadi tiga. Pertama Substansi, kedua struktur, dan terakhir kultur. Pada posisi ini kepolisian masuk dalam bagian struktur. Bagian yang menjadi perwakilan Pemerintah dalam menegakan hukum.

Sebagai institusi penegak hukum sudah selaiknya Anggota Polri memahami hukum dengan baik dan benar. Mengetahui tidak hanya Pasal tetapi unsur Pasal dan juga filosofi dibalik Pasal tersebut. Mengetahui pula budaya yang hidup di masyarakat. Yang dengan demikian masyarakat akan terlayani dengan maksimal.

Sayangnya dalam beberapa peristiwa yang terjadi di masyarakat, Anggota Polri terkadang gagal menempatkan diri sesuai dengan posisi jabatannya. Masih kerap terjadi masyarakat melapor justru disalahkan, pertanyaan tentang update perkara tak dapat dijawab, kesalahan dalam menempatkan Pasal, hingga masih adanya pungli yang mempersulit masyarakat dalam mengakses keadilan.

Ke depan, mengingat tugas utama Polri adalah pelayan masyarakat, penguatan kapasitas kognitif Anggota Polri perlu menjadi fokus utama. Langkah itu bisa dilakukan dengan memperbanyak pelatihan di masing-masing tingkatan untuk Anggota Polri. Pelatihan itu tidak hanya sekedar ilmu hukum an sich tetapi juga Ilmu Psikologi, Ilmu Komunikasi, Teknologi Informasi, Sosiologi, Budaya, Agama dan lainnya yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat.

Meritokrasi

Terakhir, hal yang perlu diperbaiki oleh Kepolisian Republik Indonesia ke depan adalah dengan memperketat proses seleksi pengisian jabatan di tubuh Polri. Sistem yang konon biasanya dipilih karena bagian 'gerbong', 'kedekatan', dan sebagainya itu harus diganti dengan sistem merit. Sistem merit adalah memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan atau kelas sosial.

Dengan dibangunnya sistem merit ini maka akan memunculkan persaingan yang sehat di tubuh Polri. Persaingan sehat itu nantinya ditunjukkan dengan hadirnya beragam inovasi, karya, dan visi dari Anggota Polri di tiap tingkatan. Sebab mereka sadar bahwa untuk menjadi pemimpin itu harus memantaskan diri terlebih dahulu.

Penutup

Tiga hal utama ini penulis kembangkan dari apa-apa yang sering disampaikan Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowodalam berbagai kesempatan. Penulis sekadar berupaya untuk memperkuat komitmen dan memberikan tambahan akan arahan yang telah diutarakan oleh orang nomor satu di Korps Bhayangkara.

| Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta.